Bahasa Empati di Tengah Birokrasi: Warna Baru Komunikasi Publik ala Purbaya
PRINDONESIA.CO | Senin, 27/10/2025
Bahasa Empati di Tengah Birokrasi: Warna Baru Komunikasi Publik ala Purbaya
Menteri Keuangan Purbaya
doc/detik

Oleh: Arie Nauvel Iskandar, founder dan Ketua Umum Indonesia Public Affairs Community.

JAKARTA, PRINDONESIA.CO - Di tengah kejenuhan publik terhadap gaya komunikasi pemerintah yang cenderung gagap, tertutup, dan kurang transparan, muncul figur pejabat yang memberi warna berbeda dalam cara berbicara kepada masyarakat. Ia adalah Purbaya, seorang Menteri Keuangan yang gaya komunikasinya mulai mencuri perhatian karena terasa lebih natural, terbuka, dan empatik. Di saat sebagian pejabat tampil dengan retorika kaku atau defensif, Purbaya justru menghadirkan kesan bahwa pemerintah tidak sedang berbicara kepada rakyat, melainkan bersama rakyat.

Gaya komunikasinya seolah menjadi oase di tengah komunikasi pemerintahan yang kerap berjarak. Ia tidak hanya berbicara di balik podium, tetapi turun langsung ke lapangan, mengunjungi lembaga-lembaga di lingkungan keuangan, berdialog dengan pegawai, mitra, dan masyarakat, bahkan menanggapi keresahan publik dengan nada yang menenangkan. Langkah-langkah seperti ini, bagi sebagian orang mungkin tampak tidak lazim, bahkan dianggap sekadar pencitraan. Namun jika dilihat dari perspektif komunikasi publik, pendekatan tersebut justru mencerminkan bentuk komunikasi empatik yang mulai langka dalam tradisi birokrasi kita.

Dalam teori komunikasi empatik yang berakar dari pemikiran Carl Rogers, pada tahun 1957 melalui tulisannya “The Necessary and Sufficient Conditions of Therapeutic Personality Change”, komunikasi efektif diawali dengan kemampuan memahami perasaan dan kebutuhan audiens sebelum berusaha memengaruhi mereka inti komunikasi efektif adalah memahami perasaan dan kebutuhan audiens sebelum berusaha memengaruhi mereka. Di sini, empati bukan sekadar sikap sopan, melainkan strategi komunikasi yang mengandung makna sosial dan psikologis yang kuat. Purbaya tampak memahami hal ini. Ia menyampaikan kebijakan fiskal dengan bahasa yang sederhana, membingkai isu ekonomi yang kompleks dalam konteks sosial yang dapat dimengerti publik, dan berbicara dengan ketenangan yang menumbuhkan rasa percaya.

Lebih jauh, pendekatan komunikasinya juga beresonansi dengan konsep tindakan komunikatif (communicative action) yang diperkenalkan Jürgen Habermas dalam karya monumentalnya “The Theory of Communicative Action” pada tahun 1981. Dalam pandangan Habermas, komunikasi publik yang ideal harus menciptakan ruang dialog yang rasional, terbuka, dan partisipatif—bukan sekadar menyampaikan keputusan satu arah dari pemerintah kepada rakyat. Ketika Purbaya hadir di lapangan, berdialog dengan masyarakat dan pegawai, atau menanggapi isu ekonomi dengan nada yang empatik, ia sebenarnya sedang menjalankan prinsip komunikasi yang membangun legitimasi sosial melalui keterbukaan dan kehadiran yang nyata.

Memulihkan Kepercayaan di Tengah Kelelahan Publik

Dalam konteks sosial-politik Indonesia hari ini, gaya seperti ini menjadi penting. Kepercayaan publik terhadap institusi negara tengah menurun, sebagian karena jarak emosional yang tercipta antara pengambil kebijakan dan masyarakat. Komunikasi yang elitis dan transaksional membuat publik merasa tidak didengar. Karena itu, ketika seorang pejabat publik tampil dengan kesadaran empatik, berbicara dengan kesederhanaan dan kejujuran, hal itu memberikan pengaruh psikologis yang tidak kecil. Ia tidak hanya menyampaikan kebijakan, tetapi juga memulihkan rasa percaya.

Pendekatan seperti ini juga sejalan dengan teori framing yang diperkenalkan Erving Goffman melalui bukunya “Frame Analysis” pada tahun 1974 . Melalui framing, seorang komunikator menentukan cara masyarakat memaknai suatu isu. Dalam hal ini, Purbaya mampu membingkai kebijakan fiskal bukan semata sebagai instrumen ekonomi, melainkan sebagai upaya negara menjaga kesejahteraan dan ketahanan sosial masyarakat. Framing yang menekankan dimensi kemanusiaan ini membuat kebijakan terasa lebih relevan dan mudah diterima.

Antara Pencitraan dan Keaslian Pesan

Menariknya, Purbaya tidak membangun kedekatan hanya melalui kata-kata, tetapi juga tindakan. Ia kerap melakukan kunjungan mendadak ke lembaga keuangan dan mitra kerja tanpa protokol berlebihan. Langkah ini mungkin terlihat sederhana, tetapi memiliki makna simbolik yang kuat: pemerintah ingin hadir, mendengar, dan melihat langsung. Dalam komunikasi publik, tindakan seperti ini berperan besar dalam membangun kredibilitas dan kepercayaan sosial.

Mungkin bagi sebagian kalangan, tindakan-tindakan tersebut dianggap bagian dari strategi pencitraan semata. Namun, dalam kacamata public affairs, justru di sinilah muncul nilai penting. Komunikasi publik tidak hanya soal menyampaikan pesan, tetapi juga soal bagaimana kehadiran pemerintah dirasakan oleh masyarakat. Pendekatan Purbaya memberi warna baru dalam praktik komunikasi publik di Indonesia—lebih hangat, lebih terbuka, dan lebih berorientasi pada manusia, bukan sekadar angka dan kebijakan.

"Wake-Up Call" bagi Praktisi Humas Pemerintah

Di sisi lain, apa yang dilakukan Purbaya juga menjadi wake-up call bagi para praktisi humas, khususnya humas pemerintah, untuk berinovasi dalam strategi komunikasi publik. Di era di mana masyarakat semakin kritis dan mudah lelah terhadap pesan-pesan seremonial, humas pemerintah dituntut untuk menghadirkan komunikasi yang berbasis pada nilai-nilai sosial, relevan dengan suasana psikologis masyarakat, dan mampu membangun hubungan emosional yang tulus. Inovasi komunikasi tidak lagi cukup hanya dengan kampanye media, tetapi harus menyentuh dimensi empati dan kehadiran sosial pemerintah di tengah masyarakat.

Semoga apa yang dilakukan Purbaya tidak berhenti pada gaya personal semata, tetapi menjadi inspirasi bagi pejabat publik lainnya. Dalam pusaran politik dan tekanan ekonomi saat ini, bangsa ini membutuhkan lebih banyak pemimpin yang mampu berbicara dengan bahasa empati, mendengar dengan ketulusan, dan berkomunikasi dengan kejujuran. Sebab pada akhirnya, di balik seluruh kebijakan, angka, dan strategi fiskal, masyarakat tetap membutuhkan hal yang paling mendasar: rasa percaya bahwa pemerintah benar-benar hadir untuk mereka.

BERITA TERKAIT
BACA JUGA
tentang penulis
komentar (0)
TERPOPULER

Event

CEO VIEW

Interview

Figure

BERITA TERKINI