">
Menafsirkan Kembali Public Affairs untuk Membangun Reputasi dan "Bussiness Sustainability"
PRINDONESIA.CO | Kamis, 06/11/2025
Menafsirkan Kembali Public Affairs untuk Membangun Reputasi dan
Dr. Tria Patrianti, M.I.Kom, Pengurus Indonesia Public Affairs Community, Dosen Magister Ilmu Komunikasi FISIP Universitas Muhammadiyah Jakarta
Dok. Pribadi

Oleh:  Dr. Tria Patrianti, M.I.Kom, Pengurus Indonesia Public Affairs Community, Dosen Magister Ilmu Komunikasi FISIP Universitas Muhammadiyah Jakarta

JAKARTA, PRINDONESIA.CO - Di tengah tekanan regulasi dan meningkatnya ekspektasi publik terhadap etika bisnis, Public affairs (PA) kembali hadir sebagai fungsi manajemen strategis yang tidak hanya mengevaluasi sikap publik dan berada di level manajemen, tetapi juga berkontribusi di pusat pengambilan keputusan organisasi.

Secara operasional, PA mencakup aktivitas komunikasi dengan external stakeholder yang memiliki kewenangan dan kepentingan dengan isu-isu kebijakan yang berdampak pada organisasi atau korporasi. PA tidak hanya bertujuan untuk menjaga organisasi dan terwakili kepentingannya di ruang publik, tapi selalu menjaga agar proses komunikasi berlangsung secara etis, transparan, dan sejalan dengan prinsip good governance serta kepentingan jangka panjang publik.

Menurut Argenti (2023), PA adalah spesialisasi dalam public relations (PR) yang bertujuan memengaruhi kebijakan publik untuk kepentingan pihak yang melaksanakannya. Praktik ini dijalankan oleh berbagai kalangan, mulai dari perusahaan, lembaga sektor publik, hingga kelompok kepentingan, kelompok penekan, dan organisasi berbasis isu yang beroperasi dalam ruang kebijakan untuk melindungi  dan menjaga reputasi organisasi. PA juga dapat dipahami sebagai "suara" yang memungkinkan organisasi dan kelompok—besar maupun kecil, komersial maupun nirlaba, publik maupun privat,—untuk saling berkomunikasi dan berinteraksi dengan pemerintah, baik secara terbuka maupun tertutup, mengenai kebijakan publik di tingkat internasional, regional, nasional, hingga lokal.

Dalam pandangan Argenti, organisasi tidak dapat sekadar bereaksi terhadap kebijakan. Mereka harus mengantisipasi perubahan regulasi dan berpartisipasi secara aktif dalam wacana publik. Di sini PA memainkan fungsi manajemen strategis, bukan hanya fasilitator dengan lembaga pemerintah. Selaras dengan Excellence Theory yang menempatkan komunikasi simetris dan dialog sebagai inti keunggulan organisasi (Grunig & Grunig, 1992), praktisi PA beroperasi sebagai aktor yang menjembatani suara publik dan kepentingan perusahaan. Professional PA tidak sekedar menjalankan fungsi sebagai lobbyist, tetapi menghasilkan legitimasi dan reputasi .

Pandangan Jethwaney (2024) sejalan dengan Argenti yang menegaskan bahwa PA merupakan fungsi strategis untuk membangun hubungan konstruktif antara organisasi dengan pemangku kepentingan, termasuk pemerintah, komunitas bisnis, dan publik luas. Karena PA merupakan spesialisasi dari PR yang menyasar pada pembentukan kebijakan dan opini publik, fungsinya tidak sekadar menyampaikan informasi, tetapi memengaruhi agenda regulasi, mengamati dinamika sosial-politik, dan memberikan intelijen strategis bagi pengambil keputusan puncak. Dengan kata lain, PA mengoperasikan “bahasa kebijakan” sekaligus “bahasa publik,” sehingga posisinya tidak dapat dipisahkan dari desain tata kelola organisasi modern.

"Public Affairs" di Indonesia

Dalam konteks Indonesia, peran PA semakin relevan. Lingkungan regulasi yang dinamis, tata kelola pemerintahan yang menuntut kolaborasi lintas sektor, serta ekspektasi publik akan transparansi dan tanggung jawab sosial—semua menempatkan fungsi PA sebagai jembatan strategis antara organisasi dan sistem demokrasi. Bagi BUMN, kementerian, pemerintah daerah, perguruan tinggi, dan juga organisasi berbasis komunitas, PA bukan sekadar fungsi komunikasi, tetapi instrumen legitimasi, diplomasi kebijakan, dan penguatan reputasi. Praktisi PA yang efektif harus mampu membaca arah kebijakan, memahami sensitivitas publik, dan mengkonversi aspirasi menjadi strategi komunikasi yang menjaga reputasi sekaligus menjawab kebutuhan publik.

Di sinilah keunggulan desain kelembagaan berbasis kepercayaan dan kolaborasi terlihat. Organisasi yang memposisikan PA di level strategis akan lebih siap menghadapi turbulensi, mengelola opini publik, serta menavigasi hubungan antara kepentingan korporasi, negara, dan masyarakat. Pada akhirnya, sebagaimana ditekankan oleh Jethwaney dan Argenti, PA adalah tentang kapasitas organisasi untuk membangun kredibilitas, memelihara kepercayaan publik, dan memastikan keberlanjutan reputasi di tengah perubahan lingkungan sosial, politik, dan ekonomi yang terus bergerak.

Heath dan Waymer (2019) memperkuat pandangan tersebut dengan menegaskan bahwa PA berada di pusat manajemen isu publik, di mana organisasi harus mengartikulasikan posisi moralnya dalam arena publik—bukan sekadar merespons tekanan, tetapi membentuk makna dan kebijakan.

Di era krisis kepercayaan publik, PA dituntut menjalankan fungsi etika. Bowen (2008) menyatakan, PA bukan hanya alat advokasi kepentingan perusahaan, tetapi juga kompas moral, memastikan organisasi bertindak dalam batas kepentingan publik. Argumen ini kini semakin relevan, mengingat organisasi dihadapkan pada isu seperti privasi data, transisi energi, kesenjangan sosial, dan keberlanjutan lingkungan.

Dalam konteks global, riset Labarca, Arceneaux, dan Golan (2020) menyoroti bahwa negara berkembang menghadapi tantangan unik: tekanan ideologis, keterbatasan regulasi, dan tuntutan transparansi. Ini resonan dengan situasi Indonesia, di mana transformasi politik dan digital melahirkan lanskap regulasi yang dinamis. PA di sini bukan hanya melobi pejabat publik, tetapi membangun hubungan yang berkelanjutan, akuntabel, dan etis.

Peran PA semakin terlihat jelas dalam situasi krisis. Lovari dan Bowen (2020) menunjukkan bagaimana pejabat PA menggunakan media sosial untuk mengelola komunikasi bencana dan menjaga kepercayaan warga. Dalam konteks ini, PA bukan hanya fungsi komunikasi, tetapi elemen penting governance adaptif.

Armstrong (1981) telah mengingatkan jauh sebelumnya bahwa PA bukan sekadar pengaruh politik, tetapi “corporate conscience”—penasihat strategis CEO yang bertugas melihat berbagai sisi isu publik dan memilih keputusan yang paling bertanggung jawab. Jika dikaitkan dengan kondisi Indonesia yang berada pada fase transformasi strategis; transisi energi, penguatan Environmental, Social, and Governance (ESG), professional PA menjadi penentu aktivitas komunikasi dalam membangun dan memperkuat reputasi dan keberlanjutan bisnis dengan pemahaman dan peningkatan literasi kebijakan, etika publik,  advokasi berbasis data, serta kemampuan membangun koalisi multi-aktor.

BERITA TERKAIT
BACA JUGA
tentang penulis
komentar (0)
TERPOPULER

Event

CEO VIEW

Interview

Figure

BERITA TERKINI