CEO Burson Indonesia sekaligus Head of Innovation & Creative Transformation Burson Asia-Pasific (APAC) Marianne Admardatine mengatakan, jika seluruh generasi dapat berpadu dalam semangat gotong royong tanpa hierarki, maka akan tercipta kolaborasi sejati demi solusi mengatasi tantangan bangsa dengan cara lebih humanis.
JAKARTA, PRINDONESIA.CO – Dalam laporan terbaru bertajuk Indonesia’s Regeneration: A New Paradigm for the Future of Indonesia, Burson Indonesia mengungkap pentingnya kolaborasi lintas generasi sebagai kekuatan kolektif guna mendorong masa depan Indonesia yang inklusif dan berkelanjutan. Hal tersebut menyusul karakteristik generasi milenial dan z yang energik, berani, dan kreatif, sementara generasi x dan baby boomers menawarkan kearifan, ketahanan, dan visi jangka panjang.
Dijelaskan oleh CEO Burson Indonesia sekaligus Head of Innovation & Creative Transformation Burson Asia-Pasific (APAC) Marianne Admardatine, jika seluruh generasi tersebut dapat berpadu dalam semangat gotong royong tanpa hierarki, maka akan tercipta kolaborasi sejati demi solusi mengatasi tantangan bangsa dengan cara lebih humanis.
Kepada PR INDONESIA, Selasa (9/12/2025), Marianne menerangkan, untuk dapat mewujudkan hal tersebut, konsep regenerasi menjadi kunci yang harus diupayakan. Sebab, katanya, konsep ini berbicara tentang kebutuhan untuk melakukan penataan ulang dari level individu. “Sustainability is just one part of it, tapi untuk kita merubah semuanya, we need a regeneration,” ujarnya.
Namun, lanjut Marianne, untuk bisa memantapkan regenerasi, perlu upaya memastikan partisipasi generasi berikutnya, dimulai dengan mencukupi apa yang menjadi kebutuhan utama mereka. Dalam konteks ini, merujuk pada temuan dalam laporan, rata-rata generasi muda di Indonesia mengaku hanya membutuhkan akses toilet yang bersih, serta kecukupan makanan dan minuman.
Berangkat dari sana, Marianne menjelaskan, terlihat jelas betapa lebar jurang yang menganga antara aspirasi pemerintah seperti target nol emisi dan penggunaan energi hijau, dengan apa yang menjadi kebutuhan dasar masyarakat. “Kalau the bare minimum as a human kita belum terpenuhi, how are we going to think about others?” ucapnya retoris.
Sementara itu temuan lain dalam laporan tersebut seakan membuat diskursus tentang perbedaan antargenerasi menemui titik akhir. Sebab, kata Marianne, perbedaan mendasar dari setiap generasi hanyalah gaya dan cara bicara. Hal itu terbuktikan dalam pertanyaan tentang siapa yang paling tepat memimpin masa depan. “Mindset mereka soal masa depan hampir sama, dan semuanya sepakat milenial punya kapabilitas paling matang untuk memimpin perubahan,” ujarnya menegaskan relevansi gotong royong lintas generasi untuk menempatkan sosok yang paling siap dalam memimpin perubahan.
Tentang Kemerosotan Kepercayaan Terhadap Korporasi
Laporan anyar Burson Indonesia tersebut juga mengungkap adanya penurunan kepercayaan publik terhadap korporasi. Sejatinya, kata Marianne, isu ini bukan hal baru. Hanya, terasa sangat sulit disembuhkan karena transformasi digital telah mempercepat arus informasi dan pola konsumsi informasi publik.
Dalam konteks ini, lanjutnya, ada banyak perusahaan yang unggul dalam membuat wacana dan rencana besar guna menghimpun kepercayaan publik, tetapi sangat minim aksi nyata. Kondisi ini yang membuat publik jenuh hingga menjadi apatis atau skeptis. Sebagai salah satu solusi, katanya, kurangi retorika berlebih dan tunjukkan progres melalui aksi nyata.
Marianne menjelaskan hal tersebut dengan merujuk kepada praktik di Burson Indonesia. Dalam hal tersebut, setiap klien didorong untuk bisa membagi porsi anggaran komunikasi secara lebih sehat dan proporsional, dengan pembagian 25 persen untuk riset, 10 persen untuk strategi, dan sisanya untuk melakukan pelaporan berkala tentang progress nyata. “Jangan tunggu akhir tahun untuk mengumumkan semua capaian. Komunikasikan sedikit-sedikit secara konsisten. Trust tidak dibangun dengan satu event,” tegasnya.
Selain itu, kata Marianne, kemerosotan kepercayaan publik terhadap korporasi juga dapat dipengaruhi oleh pergantian pimpinan atau manajemen. Dalam pengamatannya, tak jarang suatu program atau kebijakan lama yang terbukti efektif berhenti berjalan di bawah kepemimpinan baru. Hal tersebut, katanya, dapat merusak kontinuitas dan menghambat pertumbuhan kredibilitas komunikasi.
Marianne pun menyimpulkan, regenerasi sejatinya bertumpu kepada diri setiap individu. Sebab, katanya, seseorang tidak bisa terus-menerus berharap orang lain berubah apabila tidak melakukannya terlebih dahulu. Meski tidak bisa memastikan respons orang lain terhadap apa yang telah dilakukan, pesan Marianne, jangan pernah lelah untuk melakukannya. “We cannot control what the media will ask but we can control our answers, we can control our behavior. Dalam hidup pun sama,” tutupnya. (EDA)