Kasus ini kembali mengingatkan betapa pentingnya komunikasi publik yang empatik dan humanis. Sebagaimana pernah disampaikan founder & Principal Consultant NAGARU Communication Dian Agustine Nuriman, seluruh insan pemerintahan baik pejabat publik maupun praktisi government public relations (GPR), harus mampu merajut narasi dengan pendekatan komunikasi hati.
JAKARTA, PRINDONESIA.CO – Purbaya Yudhi Sadewa yang resmi menggantikan Sri Mulyani sebagai Menteri Keuangan (Menkeu) sukses meraih atensi publik dalam konferensi pers perdananya. Bukan karena strateginya bagi keuangan maupun kekayaan negara, tetapi gaya komunikasinya yang dianggap nirempati. Selain itu, pernyataan-pernyataan yang ia lontarkan pada penampilan pertamanya sebagai Menkeu juga menimbulkan keraguan publik terkait kompetensinya.
Diketahui, Purbaya sempat mendapat pertanyaan dari wartawan tentang tuntutan 17+8 yang mencuat dalam gelombang demonstrasi akhir Agustus lalu. Menjawabnya, mantan Ketua Dewan Komisioner Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) itu mengaku belum mempelajari poin-poin dalam tuntutan tersebut.
Kerendahan hati seorang menteri untuk mengakui ketidakpahaman itu sayangnya disusul oleh pernyataan yang kurang sensitif. “Tapi basically begini. Itu suara sebagian kecil rakyat kita. Kenapa, mungkin sebagian merasa terganggu hidupnya masih kurang ya," ujarnya di Gedung Kementerian Keuangan, Jakarta, Senin (8/9/2025).
Selanjutnya, Purbaya juga tampak mengecilkan gelombang demonstrasi di sejumlah daerah di Indonesia beberapa pekan terakhir dengan solusi yang ia tawarkan. “Once saya ciptakan pertumbuhan ekonomi 6%, 7%, itu (tuntutan 17+8) akan hilang dengan otomatis. Mereka akan sibuk cari kerja dan makan enak dibandingkan mendemo,” imbuhnya.
Usai mendapat sorotan tajam, keesokan harinya, Purbaya menyampaikan permintaan maafnya kepada publik. Namun, kesempatan yang seharusnya jadi momentum untuk meraih dan membentuk kepercayaan publik, justru gagal ia manfaatkan karena sikap defensif yang kentara. “Saya masih pejabat baru di sini, menterinya juga menteri kagetan. Jadi, kalau ngomong, kalau kata Bu Sri Mulyani gayanya koboi. Jadi kemarin kalau ada kesalahan, saya mohon maaf. Ke depan akan lebih baik lagi,” ucapnya usai Serah Terima Jabatan (Sertijab), Selasa (9/9/2025).
Pentingnya Komunikasi Hati
Kasus ini kembali mengingatkan betapa pentingnya komunikasi publik yang empatik dan humanis. Sebagaimana pernah disampaikan founder & Principal Consultant NAGARU Communication Dian Agustine Nuriman, seluruh insan pemerintahan baik pejabat publik maupun praktisi government public relations (GPR), harus mampu merajut narasi dengan pendekatan komunikasi hati seperti dicetuskan Guru Besar Ilmu Komunikasi UPN Veteran Yogyakarta Prof. Puji Lestari. “Teori ini dapat meningkatkan kualitas komunikasi kelompok, komunikasi organisasi, dan terutama komunikasi publik,” ucapnya kepada PR INDONESIA, Selasa (2/9/2025).
Adapun teori tersebut berfokus pada olah pikir atau mengarahkan pikiran kepada hal-hal positif untuk membentuk sikap konstruktif, dan olah rasa atau mengelola perasaan untuk memunculkan simpati dan empati. Tujuannya adalah mencapai komunikasi efektif dan harmonis, dengan menekan risiko sosial.
Pendekatan komunikasi hati tidak hanya relevan bagi komunikator publik di masa krisis, tetapi harus menjadi fondasi komunikasi pemerintah yang berkelanjutan. Sebab, dewasa ini publik tidak hanya menilai isi kebijakan, tetapi juga cara seseorang pejabat berkomunikasi. (EDA)