Membuat konten viral itu mudah. Namun, menjadi sulit jika keviralan itu mencapai tujuan yang ditetapkan. Di sini kerangka kerja strategis seperti STEPPS dapat mendorong keberhasilannya.
JAKARTA, PRINDONESIA.CO - Sebuah formula strategis dibutuhkan untuk memandu proses kreatif kampanye digital agar viral. Dalam konteks ini, CEO Infipop Irfan Prabowo mengatakan, STEPPS Framework dapat menjadi pilihan untuk digunakan dalam menciptakan narasi yang menular.
Disampaikannya dalam workshop Digital PR Campaign That Lead the Narrative yang digelar PR INDONESIA berkolaborasi dengan Konner Advisory, pria yang berpengalaman lebih 10 tahun di dunia marketing, branding, dan komunitas itu menerangkan, kerangka kerja karya Profesor Marketing Wharton School Jonah Berger tersebut terdiri dari elemen Social Currency, Triggers, Emotion, Public, Practical Value, dan Stories.
Kerangka kerja tersebut, lanjut pria yang akrab disapa Fanbul itu, masing-masing dari enam elemen kunci yang tercakup dapat membuat sebuah ide, produk, atau cerita menjadi viral. Adapun elemen pertama, social currency, secara prinsip bertujuan membuat orang merasa eksklusif, pintar, atau keren saat membagikan informasi tentang suatu brand.
Fanbul mencontohkan bagaimana komunitas Minutes of Managers miliknya berhasil menarik seribu pendaftar untuk acara yang hanya menyediakan 30 kursi. Kuncinya adalah kata "terpilih", yang membuat audiens merasa menjadi bagian dari kelompok elite. "Konsep ini mengubah audiens menjadi duta jenama secara sukarela," ungkapnya dalam workshop yang menjadi bagian dari rangkaian acara puncak The 4th Indonesia DEI & ESG Awards (IDEAS) 2025, Rabu (18/6/2025) di Jakarta.
Triggers sebagai elemen kedua, terang alumni Universitas Islam Indonesia Yogyakarta itu, adalah pemicu yang membuat audiens teringat pada produk atau brand dalam kehidupan sehari-hari. Aspek ini bisa berupa slogan, warna, atau istilah yang melekat kuat. "Contohnya bagaimana Lemonilo dikenal luas dengan sebutan “mie hijau”. Frasa sederhana ini menjadi pemicu yang efektif di benak konsumen," ungkap mantan Head of Marketing Lemonilo itu.
Sementara itu emotion merujuk kepada konten yang membangkitkan emosi kuat, dan memiliki potensi viral yang jauh lebih besar. Emosi yang dimaksud, kata Fanbul, tidak harus selalu positif seperti kebahagiaan. Kemarahan atau kekesalan yang tersalurkan juga bisa menjadi pendorong yang sangat kuat.
Menarik ingatan ke pengalamannya dulu, Fanbul mengambil contoh "Kampanye “Donor Marah” yang dulu ia gawangi di Lemonilo. Dalam kampanye tersebut, mereka menyediakan platform bagi publik untuk meluapkan amarah. “Kampanye tersebut justru membuat audiens merasa terapresiasi dan memberikan sentimen positif kepada Lemonilo," ucapnya.
Mengubah Audiens Menjadi Papan Iklan
Lanjut ke elemen public, Fanbul menerangkan, brand harus bisa memastikan penggunaan produk atau dukungan terhadap sebuah kampanye terlihat oleh orang lain. Tujuannya agar mendorong orang lain untuk ikut serta. Contoh klasiknya adalah bagaimana Steve Jobs meletakkan logo Apple yang menyala di belakang layar MacBook. Tujuannya agar orang lain yang bukan pengguna juga dapat melihatnya.
Contoh lain, tambah Fanbul, adalah kampanye Asian Games 2018 yang berhasil melibatkan ratusan figur publik tanpa bayaran. “Mereka diajak menjadi bagian dari sebuah gerakan persatuan bangsa, yang membuat partisipasi mereka menjadi sebuah kebanggaan yang ingin ditunjukkan kepada publik," paparnya.
Masuk ke elemen practical value, hal ini berkaitan dengan memberikan informasi atau solusi berguna bagi audiens. Ketika brand berhasil menyelesaikan masalah nyata, kata Fanbul ke salah satu peserta workshop, maka audiens akan dengan senang hati menyebarkan informasinya. Elemen ini memposisikan mereka sebagai ahli yang terpercaya di industrinya.
Terakhir, tegas Fanbul sebelum menutup pemaparannya, otak manusia selalu lebih mudah mengingat cerita dibandingkan informasi mentah. Dalam konteks ini, storytelling adalah aspek pengikat semua elemen di atas menjadi satu kesatuan yang kuat. “Sebagai contoh Nike, mereka tidak hanya menjual produk, tetapi juga “menjual kisah perjuangan dan keberanian yang selaras dengan tujuan mereka,” contohnya.
Untuk memantapkan implementasi STEPPS Framework, Fanbul mengingatkan untuk mengawali strategi dengan riset untuk menemukan real concern (kebenaran manusia) dan clear context (kebenaran budaya) dari audiens. “Dengan memahami dua hal tersebut, setiap elemen STEPPS dapat dirancang secara strategis,” tutupnya. (ARF)