Peran Humas Sebagai Pemimpin Narasi Publik
PRINDONESIA.CO | Jumat, 03/10/2025
Peran Humas Sebagai Pemimpin Narasi Publik
CEO Infipop Irfan Prabowo di workshop DigiPRO x AHI 2025, Rabu (24/9/2025) di Surabaya.
doc/HUMAS INDONESIA

SURABAYA, PRINDONESIA.CO - Di tengah lanskap komunikasi yang kian dinamis, humas tidak lagi bisa hanya bertindak sebagai penyebar siaran pers. Menurut CEO Infipop Irfan Prabowo, dinamika dan perkembangan kebutuhan akan informasi telah menuntut humas untuk bisa menjalankan peran sebagai pemimpin narasi publik. Hal itu ia sampaikan dalam workshop DigiPRO x Anugerah HUMAS INDONESIA (AHI) 2025 di Surabaya, Rabu (24/9/2025).

Menurut pria yang akrab disapa Fanbul itu, dalam konteks kekinian tugas humas adalah membangun kepercayaan publik melalui percakapan yang tulus dan bernilai. Sebab, tegasnya, sekali publik tidak percaya, maka niat baik pemerintah sekalipun tidak akan mendapat dukungan. "Humas harus beralih dari sekadar menyiarkan pesan menjadi memfasilitasi percakapan yang autentik dan bernilai bagi audiens,” ujarnya.

Adapun untuk bisa menjadi pemimpin narasi, Fanbul menganjurkan praktisi humas untuk mengadaptasi kerangka kerja “Story of Self, Story of Us, Story of Now” yang pertama kali dikembangkan oleh Marshall Ganz, seorang pengajar senior di Harvard Kennedy School, berdasarkan pengalamannya dalam mengorganisasi gerakan sosial.

Fanbul menjelaskan, kerangka kerja tersebut dapat membantu organisasi menyusun cerita yang kuat dengan menjawab tiga pertanyaan fundamental, yakni Story of Self yang merujuk kepada nilai dan alasan keberadaan organisasi, Story of Us soal nilai-nilai bersama yang dimiliki organisasi dengan audiensnya, dan Story of Now tentang tantangan mendesak yang dihadapi bersama.

Dari Pemicu Menuju Gerakan Kolektif

Setelah fondasi cerita terbentuk, Fanbul melanjutkan, langkah selanjutnya yang perlu dijajal adalah menyebarkannya melalui tiga tahapan. Pertama dengan menciptakan pemicu (trigger), seperti melalui elemen yang membuat audiens teringat akan cerita dalam konteks yang relevan. Kedua, melakukan amplifikasi (amplification) ketika cerita mulai dibagikan dan diperbincangkan secara luas oleh audiens.

Ketiga sekaligus terakhir adalah memastikan kolektivisasi (collectivization), agar publik tidak hanya merespons, tetapi juga merasa memiliki dan ikut mengembangkan narasi tersebut hingga menjadi sebuah gerakan kolektif. "Konten yang bagus saja tidak cukup. Kita harus merancang pemicunya, memfasilitasi amplifikasinya, dan akhirnya menginspirasi audiens untuk merasa memiliki cerita tersebut. Saat itulah narasi kita berhenti menjadi iklan dan mulai menjadi bagian dari budaya," terangnya.

Namun, Fanbul mengingatkan, strategi tersebut harus dieksekusi dengan mempertimbangkan relevansi kanal komunikasi. Dalam konteks ini, pesan harus disesuaikan dengan platform yang digunakan oleh target audiens. "Karena itu, humas harus mampu menyesuaikan narasi dengan platform dan karakter audiens masing-masing," tegasnya.

Secara umum, Fanbul berpandangan, humas yang efektif di era digital seperti sekarang bukan hanya bereaksi terhadap isu atau krisis, tetapi merancang cerita dan interaksi sejak awal agar audiens merasa terlibat, memahami tujuan organisasi, dan pada akhirnya mempercayai narasi secara organik. 

Keberhasilan strategi di atas, tandasnya, tidak dapat dinilai hanya dari seberapa viral suatu konten. Melainkan dari bagaimana masyarakat benar-benar mengubah persepsi dan perilaku karena narasi tersebut. "Humas yang mampu mengambil peran ini. Sehingga tidak hanya membela institusi saat krisis, tetapi juga menjaga reputasi lewat interaksi sehari-hari yang transparan dan bermakna," tutupnya. (ARF)

BERITA TERKAIT
BACA JUGA
tentang penulis
komentar (0)
TERPOPULER

Event

CEO VIEW

Interview

Figure

BERITA TERKINI