Praktisi humas pemerintah dihadapkan pada dua tantangan berbeda: krisis komunikasi yang lahir dari kegagalan internal, dan komunikasi krisis sebagai strategi untuk merespons. Membedakan keduanya menjadi langkah awal bagi humas untuk menyusun strategi yang efektif demi menjaga kepercayaan publik.
SURABAYA, PRINDONESIA.CO – Di tengah derasnya arus informasi digital, humas pemerintah dihadapkan pada dua tantangan yang sering kali tertukar dalam pemahaman, yakni krisis komunikasi dan komunikasi krisis. Memahami perbedaan mendasar antara keduanya adalah langkah awal untuk menyusun strategi yang tepat demi menjaga kepercayaan publik di era yang penuh disrupsi.
Hal tersebut yang menjadi sorotan utama Sekretaris Direktorat Jenderal Informasi dan Komunikasi Publik Kementerian Komunikasi dan Digital (Komdigi) Mediodecci Lustarini, ketika menjadi pemateri dalam workshop DigiPRO x Anugerah HUMAS INDONESIA (AHI) 2025 di Surabaya, Rabu (24/9/2025).
Perempuan yang karib disapa Ides itu menjelaskan, secara defenitif krisis komunikasi adalah krisis yang lahir dari kegagalan internal institusi dalam berkomunikasi. Hal ini terjadi ketika narasi pemerintah tidak sinkron, informasi yang beredar simpang siur, atau dialog dengan publik terputus.
Sementara komunikasi krisis, terangnya, adalah perangkat atau strategi yang digunakan untuk merespons sebuah krisis yang sudah terjadi dan menyebar di masyarakat. “Memahami perbedaan ini bukan sekadar urusan terminologi, tetapi tentang apakah kita yang mengendalikan narasi atau narasi yang mengendalendalikan kita. Di situlah letak profesionalisme humas pemerintah diuji,” ujarnya.
Empat Jurus Navigasi di Tengah Badai Informasi
Lebih lanjut, Ides memaparkan empat langkah penting yang harus dikuasai humas pemerintah untuk menavigasi krisis komunikasi maupun komunikasi krisis. Pertama adalah verifikasi konten. Dalam konteks ini, katanya, humas harus bertindak sebagai filter utama yang memastikan semua informasi telah terverifikasi kebenarannya. "Tanpa langkah ini, narasi publik akan mudah diambil alih oleh sumber tak bertanggung jawab," tegasnya.
Kedua adalah permintaan maaf yang terstruktur. Menurut Ides, sebuah permintaan maaf publik tidak akan efektif jika hanya berisi kata-kata. Dalam hal ini permintaan maaf harus pula disertai dengan penjelasan langkah-langkah perbaikan yang konkret, transparan, dan konsisten agar tidak dianggap sebagai pencitraan.
Ketiga, slow thinking atau mengambil jeda untuk berpikir. Bagi Ides, tidak semua situasi krisis menuntut respons cepat. Ada kalanya humas perlu mengambil jeda terukur untuk menganalisis akar masalah dan dampak dari setiap respons. Jeda ini, katanya lagi, ditujukan untuk memastikan humas bertindak secara tepat. Terakhir, kolaborasi lintas lembaga. Ides memandang penting tahapan ini karena kunci mencegah terjadinya krisis komunikasi adalah sinkronisasi pesan antar lembaga.
Pendekatan strategis yang dijelaskan Ides tersebut sejalan dengan Teori Komunikasi Krisis Situasional (Situational Crisis Communication Theory) yang dikembangkan oleh W. Timothy Coombs pada 2007. Teori tersebut menjelaskan bahwa respons krisis yang efektif harus disesuaikan dengan situasi spesifik dan persepsi publik terhadap tanggung jawab organisasi.
Dengan memahami perbedaan antara krisis komunikasi dan komunikasi krisis, Ides berharap setiap instansi pemerintah dapat menetapkan standar operasional prosedur (SOP), pemilihan juru bicara, menyiapkan materi siaran pers, dan menghadapi publik bukan lagi dengan retorika tak berdasar. (ARF)