“Future PR: Marketing Becomes More PR?”
PRINDONESIA.CO | Senin, 17/02/2020 | 3.590
“Future PR: Marketing Becomes More PR?”
Aktivitas PR dan marketing makin dekat
Dok. Istimewa

Oleh: Nurlaela Arief, Director Communication dan Alumni Relations SBM ITB

JAKARTA, PRINDONESIA.CO - World Public Relations Forum (WPRF) 2018 telah usai digelar pada 22 – 24 April di Oslo, Norwegia. Empat orang perwakilan dari PERHUMAS sebagai organisasi humas terbesar di Indonesia, serta menjadi anggota dari Global Alliance, turut hadir dalam forum tersebut. Perwakilan PERHUMAS juga menemui Duta Besar Norwegia, Todung Mulya Lubis, di KBRI Oslo. 

Jika flashback pada sejarah penyelenggaraanya, awalnya WPRF diadakan di Roma (2001), London (2008), Stockholm (2010), Melbourne (2012), Madrid (2014), Toronto (2016), kemudian Oslo menjadi kota yang dipilih pada tahun 2018 ini dengan penyelenggara, Global Alliance for PR and Communication Management bekerjasama dengan organisasi PR Norwegian Communication Association (NCA).

Tiga topik utama yang menjadi pembahasan, yaitu “Truth, Profit & Intelligence” mendapat perhatian khusus dan menjadi perenungan bagi para praktisi PR, akademisi, dan PR agensi dari berbagai negara. Ketiga topik besar tersebut diturunkan  ke dalam beberapa sub topik yang dipresentasikan oleh berbagai pakar dunia. Saya akan share beberapa sub topik yang cukup krusial.

“Truth, Profit, Intelligence”

Menarik mencermati isu apa yang sedang dihadapi di negara masing-masing peserta selama sesi networking. Jika di Indonesia kita digempur dengan hoaks, begitupun di Afrika Selatan, Brazil, India, dan Argentina. Saat kita familiar dengan hoaks, praktisi PR dari Eropa, Amerika dan negara maju lainnya,  menggunakan frase lain yaitu  false news atau fake information.  Tentang truth banyak dibahas mengenai berbagai teori dan prakteknya, seperti truth, post truth dan fakta-fakta lainnya dalam menghadapi gempuran berita-berita palsu, khususnya dalam praktek komunikasi politik.

Sementara topik Profit disampaikan oleh Prof. Mervyn King dari Afrika Selatan. Ia menjelaskan mengenai bagaimana merubah dari paradigma profit menjadi value creation. Dalam konteks  ini perusahaan didorong untuk tidak melulu menargetkan keuntungan semata, namun lebih menciptakan banyak kebijakan dengan pendekatan bisnis model dan output profit, people, and planet dengan dimensi-dimensi pada Sustainable Development Goals (SDGs).

Nilai-nilai seperti ini lebih menarik bagi investor dalam jangka panjang. Termasuk di dalamnya bagaimana perusahaan bergeser untuk lebih fokus pada isu-isu keberlanjutan. Di dalamnya terkait integrated reporting, penyusunan sustainability report based global reporting initiative menjadi bagian dari strategi fokus pada komunikasi CSR untuk reputasi jangka panjang.

Sementara dalam pembahasan Intelligence, dibahas tentang Artificial Intelligence (AI). Sarab Kochhar, Direktur Riset PR, saat presentasi mengaku terbebani untuk membawakan dan mempersiapkan materi. Dengan penuh humor pria asal India yang berdomisili di AS ini berkata: “Untungnya, saya cukup cerdas untuk bicara tentang AI.”

Intinya, saya menangkap pesan bagaimana tools AI setelah peradaban digital dan Big Data, ke depannya mampu  menciptakan percepatan dalam setiap aspek organisasi. Sektor apapun, level jabatan manapun, mau tidak mau akan bersentuhan dengan AI. Bagi para praktisi PR sendiri AI mampu meningkatkan produktivitas kerja dan berbagai tugas-tugas rutin PR seperti dalam kompetensi PR writing, menganalisis sentimen di media, juga sebagai alat ukur untuk efektivitas PR digital.

Beberapa pakar, guru besar dari berbagai universitas, praktisi dan PR Agensi  ternyata telah menyusun panel, bagaimana dampak AI ini pada profesi PR. Dibawakan oleh Alastair, McCapra, CEO dari CIPR Inggris.  Berikut sejumlah kesimpulan risetnya.

Pertama, peran PR pada level dasar atau entry-level mungkin akan menjadi yang pertama kali  benar-benar menghilang tergantikan dengan AI. Hal ini menjadi tantangan dan akan menimbulkan masalah besar bagi para fresh graduate yang baru bergabung di industri PR. Kedua, PR profesional perlu menemukan cara-cara baru agar memberikan nilai bagi klien atau stakeholder-nya, dengan memanfaatkan platform dan tools baru dan mengembangkan value chain. Ketiga, keterampilan dasar PR dianggap paling terkait dan yang pertama kali diotomatisasi. Sedangkan kemampuan dan atribut yang lebih umum yang memberikan kualitas dan integritas akan lebih sulit untuk diotomatisasi dengan AI.

Yang menggembirakan, adalah  tidak benar bahwa pekerjaan manajerial atau kreatif  akan terancam dengan adanya AI. Justru AI dapat mendukung dan memudahkan praktisi PR dengan beberapa fungsi dan pekerjaan PR yang diotomatisasi. Beberapa tugas rigid bisa dilakukan dengan bantuan AI. Contohnya, dalam dashboard press release dan menyebarkan pada grup media, atau media dapat menarik rilis dari dashboard yang kita siapkan. Inilah salah satu dampak yang besar dari teknologi AI untuk para praktisi PR. 

“Future PR, Relationship and Content”

Daniel Tiesch dalam materinya yang berjudul “The Elevation of PR In the Age of Fake News, 7 Mega Trends News & PR” membuat banyak peserta tertegun. Saya juga memberi perhatian lebih saat Daniel berbicara, terlepas dari kecerdasan dan aura ketampanannya, juga karena cara pembawaannya yang mudah dipahami dan topik yang sangat menarik.

Ia menyatakan, “Why PR need to own content in marketing? Why content marketing means for PR Industry? PR must form to be more organization listening.” Kita semua memang dituntut untuk lebih banyak mendengar dan lebih sedikit berbicara. Ketika kita banyak mendengar, hubungan kepercayaan akan tercipta, risiko akan lebih kecil, sedangkan kesempatan menjadi semakin besar. Kolaborasi sangat penting dan PR people harus memiliki kapabilitas untuk take charge pada berbagai peran dan fungsi baik hubungan internal maupun eksternal.

Terkait dengan big data dan artificial intelligence, PR dapat mengambil peran lebih besar dengan informasi yang bermanfaat dan mendukung pengambilan keputusan. Dengan data yang berlimpah, semestinya kita bisa lebih powerful dan memiliki insight yang lebih kuat.

Sementara itu hasil riset dari Global Communication Report 2017, yang mengatakan bagaimana pandangan terhadap marketing yang menjadi seperti PR, 61 persen marketing professional percaya bahwa PR akan semakin dekat dan align dengan marketing. Sedangkan praktisi PR memandang bahwa PR akan semakin dekat dan align dengan marketing sebanyak sekitar 45 persen.

“PR is the New Marketing, but Marketing Should not Lead PR”

Terlepas setuju atau tidak, beberapa bulan terakhir ini saya juga merasakan bagaimana kedekatan dan bersinggungan atau align  antara aktivitas PR dengan Marketing.  Saat ini, tantangan industri semakin berat, korporasi harus lebih lincah, lebih efisien, lebih banyak mendatangkan profit, content-content pada media sosial. Misalnya, yang semula didedikasikan untuk edukasi, sosialisasi, membangun reputasi, sedikit demi sedikit harus diupayakan untuk dimbangi dengan konten promosi produk dan layanan perusahaan. Mau tidak mau, suka tidak suka, ini kenyataannya.

Perusahaan tentunya masih tetap memerlukan PR, karena dasar dari PR ini adalah komunikasi, dan komunikasi membangun empati, pemahaman, respect dan trust. Etika dan standar profesional juga penting ditengah kembali gempuran hoaks, fake news, dan false information. Bagaimana cara mengantisipasi, menyeimbangkan informasi palsu, jawabannya adalah PR yang memiliki etika profesional! Ke depan, PR akan  lebih strategis, lebih analitis, dan lebih sedikit teknis.

BERITA TERKAIT
BACA JUGA
tentang penulis
komentar (0)
TERPOPULER

Event

CEO VIEW

Interview

Figure

BERITA TERKINI