Menentukan Titik Temu Penggunaan AI dalam Praktik PR
PRINDONESIA.CO | Selasa, 04/11/2025
Menentukan Titik Temu Penggunaan AI dalam Praktik PR
webinar Public Relations in the Era of Artificial Intelligence yang digelar oleh 2N PR Navigation beberapa waktu lalu
doc/2NPRNavigation

JAKARTA, PRINDONESIA.CO – Menurut Direktur Komunikasi dan Hubungan Masyarakat Institut Teknologi Bandung (ITB)  Dr. N. Nurlaela Arief, perkembangan praktik public relations (PR) 1.0 hingga 4.0 telah menuntut praktisi PR untuk lebih memahami personalisasi segmen audiens yang sesuai kebutuhan demi menjangkau skalabilitas lebih luas.

Dijelaskannya dalam webinar Public Relations in the Era of Artificial Intelligence yang digelar oleh 2N PR Navigation beberapa waktu lalu, upaya tersebut dapat dilakukan dengan melakukan social listening, guna mendengar dan menganalisis percakapan publik secara daring.

Hal tersebut, lanjut perempuan yang akrab disapa Lala itu, dapat dijalankan dengan pemanfaatan kecerdasan buatan seperti social listening tools untuk membaca percakapan netizen, automated task manager hingga analisis data terstruktur seperti google analytics untuk mengevaluasi engagement dan tingkat keterbacaan sebuah konten.

Perempuan yang akrab disapa Lala itu menegaskan, dalam konteks ini praktisi PR tidak perlu khawatir keberadaan kecerdasan buatan akan mengancam profesi PR. Sebab, berdasarkan penelitian Chartered Institute of Public Relations (CIPR) pada 2024, hanya sekitar 30 persen pekerjaan PR yang bisa digantikan oleh kecerdasan buatan, sementara 70 persen lainnya tetap membutuhkan kreativitas, intuisi dan empati manusia seperti strategi komunikasi, kreativitas kampanye dan judgement pertimbangan dalam mengambil aksi kehumasan.

Lebih lanjut, riset Deloitte tahun 2025 menyebutkan sekitar 67 persen industri memandang kecerdasan buatan sebagai alat peningkat produktivitas bukan sebagai ancaman. “Sedangkan riset di Indonesia yang kami lakukan, yang berpotensi menjadi ancaman adalah pekerjaan clerical atau teknis paling dasar. Tapi, praktisi PR yang mampu scale-up melalui pelatihan seperti mengikuti berbagai akreditasi dan sertifikasi dari organisasi profesi tetap sangat dibutuhkan,” ucap Lala.

Pemanfaatan “Social Listening Tools”

Di ITB sendiri, lanjut Lala, implementasi kecerdasan buatan dalam konteks komunikasi sudah cukup mapan dijalankan. Ia mencontohkan ketika kampus tersebut menghadapi situasi viral terkait meme mahasiswa Fakultas Seni Rupa dan Desain (FSRD). Dengan dukungan perusahaan rintisan alumni ITB, terang Lala, tim dapat memantau dinamika percakapan publik dan menentukan langkah komunikasi krisis yang bijak. “Penting untuk memetakan percakapan dahulu, sejauh mana bisa kita kendalikan, baru membuat pernyataan resmi. Jangan sampai reaktif karena tekanan internal saja,” tuturnya.

Lala juga berpesan, meskipun kecerdasan buatan dapat menyusun konten atau memproses data dalam sekejap, tetapi pendekatan manusia (human touch) tetap tak tergantikan. “Teknologi boleh saja membantu mempercepat pekerjaan, tapi tidak boleh mengorbankan prinsip dasar komunikasi yang membangun kepercayaan, mengutamakan kebutuhan publik dan memerhatikan potensi risiko komunikasi,” pungkasnya. (EDA)

BERITA TERKAIT
BACA JUGA
tentang penulis
komentar (0)
TERPOPULER

Event

CEO VIEW

Interview

Figure

BERITA TERKINI