

Menurut CEO Infipop Irfan Prabowo, era paradoks informasi membuat publik lebih tertarik membaca persepsi ketimbang membaca informasi literal, sehingga praktisi PR perlu adaptif merancang storytelling yang bernilai sosial dan berkolaborasi dengan new media.
JAKARTA, PRINDONESIA.CO – CEO Infipop Irfan Prabowo menyebut, jumlah medium komunikasi yang kini semakin banyak, ditambah ragam komunitas dan perkembangan preferensi generasi muda, telah menghadirkan tantangan bagi praktik public relations (PR). Untuk bisa relevan dan menjawab tantangan tersebut, katanya, praktisi PR perlu memahami bahwa situasi sekarang tidak serta merta mengharuskan semua aktivitas komunikasi dieksekusi di ranah digital.
Pria yang karib disapa Fanbul itu menjelaskan, di era paradoks informasi seperti sekarang, publik lebih ingin membaca persepsi ketimbang sekadar informasi literal. “Ini bukan soal shifting media, tapi soal diversifikasi atau penambahan media. Maka, praktisi marketing dan PR harus belajar dari cara tiap generasi berinteraksi,” ujarnya dalam acara Road to PRIA 2026: Talkshow & Networking Session, Rabu (29/10/2025) di MeltingPop, M Bloc, Jakarta Selatan.
Lebih lanjut Fanbul menjelaskan, kelompok usia kelahiran 1997 sampai 2012 merupakan generasi social justice warrior (SJW) yang cenderung mendukung gerakan dengan nilai kemanusiaan. “Mereka mau membeli atau percaya pada sesuatu ketika ada common good bagi society,” katanya.
Oleh karena itu, terangnya, praktik PR hari ini tidak cukup dengan hanya membuat program yang baik bagi perusahaan. Sebab, yang dibutuhkan audiens saat ini adalah tujuan (purpose) dan dampak positif nyata bagi masyarakat. Di sinilah, tegas Fanbul, pentingnya storytelling sebagai jantung komunikasi modern yang menghidupkan narasi dengan menggabungkan pesan, nilai, dan aksi sosial. “Sehingga, publik tidak hanya menerima pesan tetapi juga ikut merasakan keterlibatan emosional yang lebih kuat,” imbuhnya,
“New Media” dan Komunitas
Dalam konteks ekosistem media, Fanbul menjelaskan bagaimana new media seperti Infipop dapat menjadi mitra strategis dalam membangun persepsi publik. Mengambil contoh gerakan sosial #WargaJagaWarga yang mencuat dari akun-akun new media pada gelombang demonstrasi akhir Agustus lalu, berhasil mencatatkan lebih dari 30 miliar views di kanal tier 1. “Sejatinya, new media punya kekuatan besar dalam mengubah persepsi publik dan sangat unggul dalam mengamplifikasi pesan dengan jangkauan yang luas dan cepat. Tetapi, memang kekurangannya adalah cepat diingat, cepat juga dilupakan,” katanya.
Sementara dalam konteks menghadapi krisis atau situasi sensitif, Fanbul berpendapat, new media dengan kemampuan distribusi cepat dapat memperkuat relevansi pesan dan memperluas jangkauan audiens secara instan. Meski demikian, katanya, praktisi PR tidak boleh hanya mengejar viralitas, tetapi juga memastikan substansi komunikasinya tetap kuat dan bernilai. “Amplifikasi itu penting, tetapi kedalaman pesan tidak boleh hilang,” tegasnya.
Menutup paparannya, Fanbul memprediksi bahwa tren komunikasi 2025 akan bergeser ke arah komunitas dan new media yang telah terbukti berhasil menjembatani brand dengan publik sekaligus menggerakkannya, seperti kesuksesan komunitas Sobat Healing yang dalam tiga hari mengumpulkan 900 anak muda mengenakan kostum pahlawan pada peringatan Hari Pahlawan saat car free day. “Itulah bukti kekuatan komunitas. Mereka bukan hanya audiens, tapi bisa menjadi brand ambassador kecil yang menghidupkan pesan PR dengan cara lebih autentik dan relevan,” pungkasnya. (EDA)