

Wakil Ketua Umum PERHUMAS sekaligus Head of Corporate Communications Harita Nickel Haviez Gautama membeberkan beberapa tantangan serta langkah konkret yang perlu diimplementasikan para praktisi PR di era sekarang. Apa saja?
JAKARTA, PRINDONESIA.CO – Dunia public relations (PR) sedang memasuki babak baru setelah transformasi digital tidak lagi sekadar tren, tetapi bagian dari kenyataan yang mengubah cara organisasi berkomunikasi. Hal ini disampaikan oleh Wakil Ketua Umum Perhimpunan Hubungan Masyarakat (PERHUMAS) Indonesia Haviez Gautama. Menurutnya, dewasa ini fungsi PR tidak lagi sebatas mengirim siaran pers atau menjalin hubungan dengan media tradisional. Lebih dari itu, PR harus mampu mengelola reputasi secara real-time, menghadapi krisis digital, dan menjaga ruang percakapan publik yang dinamis.
Selaras dengan itu, Haviez dalam acara Road to PRIA 2026: Talkshow & Networking Session, Rabu (29/10/2025) di MeltingPop, M Bloc, Jakarta Selatan menjelaskan, tantangan yang dihadapi PR saat ini jadi semakin beragam. Sebut saja betapa derasnya arus informasi, etika dan privasi terkait big data dan kecerdasan buatan, hingga dinamika reputasi di ruang digital yang bergerak cepat. “Dalam konteks ini, seorang komunikator yang cakap tidak dipatok berdasarkan umur, tetapi bagaimana ia terus belajar agar sesuai dengan perkembangan zaman,” ucapnya.
Guna menjawab tantangan tersebut, pria yang menjabat Head of Corporate Communications Harita Nickel itu merekomendasikan beberapa langkah konkret. Di antaranya membangun monitoring system untuk reputasi digital, membuat playbook crisis, memetakan audiens digital, mengembangkan konten yang relevan dan adaptif, serta melakukan evaluasi berkala. “Semua langkah ini adalah fondasi PR yang tangguh di tengah derasnya arus informasi,” imbuhnya.
Peran Vital PR Modern
Menggenapi hal-hal di atas, lanjut Haviez, etika harus mendapat perhatian khusus. Sebab, tegasnya, kepercayaan publik hanya bisa dibangun melalui kejujuran, transparansi, dan konsistensi pesan. Dalam konteks ini, PR harus melihat posisi teknologi sebagai alat mempercepat arus informasi, bukan pengganti nilai kepercayaan. “People trust people, not platforms, makanya jadi seorang PR itu tidak boleh bohong,” pesannya.
Secara garis besar, tandas Haviez, peran kunci PR modern adalah menjaga narasi dan identitas organisasi secara konsisten. Selaras dengan itu, praktisi PR juga bertanggung jawab memantau dan mengelola reputasi secara proaktif, membangun relasi dua arah yang bermakna, serta memastikan integrasi antara PR, data, dan teknologi. “PR telah dituntut menjadi produser konten yang mampu menciptakan kedekatan (intimacy) dengan audiens, bukan sekadar menjaga formalitas institusional,” tutupnya. (EDA)