CEO PR INDONESIA Group Asmono Wikan menekankan pentingnya keterhubungan dan kolaborasi dalam strategi komunikasi. Kolaborasi ini menjadi kunci dalam menciptakan kampanye yang inklusif, karena melibatkan berbagai pemangku kepentingan, komunitas, dan publik sebagai bagian dari narasi bersama.
JAKARTA, PRINDONESIA.CO – Praktik public relations (PR) hari ini sudah harus mencakup kepada memastikan setiap output komunikasi memiliki dampak nyata dan empati sosial. Hal demikian ditegaskan oleh CEO PR INDONESIA Group Asmono Wikan. Menurutnya, hal tersebut karena tantangan yang kian berkembang, seperti derasnya arus informasi dan krisis kepercayaan publik, telah memaksa praktik PR untuk senantiasa berdampak, autentik, dan berempati.
Asmono menjelaskan, banyaknya kasus krisis dewasa ini berawal dari komunikasi yang kurang empatik, dan belum berorientasi kepada dampak. “Tanpa dua hal itu, organisasi akan kehilangan arah dan dukungan publik,” ucapnya dalam acara Road to PRIA 2026: Talkshow & Networking Session, Rabu (29/10/2025) di MeltingPop, M Bloc, Jakarta Selatan.
Untuk mengukur output berupa dampak nyata tersebut, lanjut Asmono, patokan yang digunakan tidak bisa lagi PR value atau nilai rupiah yang dibelanjakan untuk media. Dalam konteks ini, katanya, praktisi PR perlu harus beralih ke model yang lebih bertanggung jawab, berbasis data, dan dapat dibantu teknologi. Salah satunya AMEC. “Mengukur efektivitas komunikasi dengan rupiah itu absurd” tegasnya.
Adaupun bantuan dari teknologi dalam pengukuran, imbuh pria kelahiran Yogyakarta itu, akan memberi peluang bagi praktisi PR untuk membuktikan dampak komunikasinya secara lebih cepat dan akurat. “Sekarang kita tidak perlu menunggu satu bulan untuk melihat hasil kampanye. Hari ini kampanye dijalankan, malamnya kita sudah bisa membaca hasilnya,” katanya menggarisbawahi manfaat integrasi tekonologi dalam kerja PR.
Praktik Kerja Kolaboratif
Lebih jauh, Asmono juga menekankan pentingnya keterhubungan dan kolaborasi dalam strategi komunikasi. Kolaborasi ini menjadi kunci dalam menciptakan kampanye yang inklusif, karena melibatkan berbagai pemangku kepentingan, komunitas, dan publik sebagai bagian dari narasi bersama. “Keberhasilan kampanye atau program PR tidak bisa dicapai sendirian meski dengan sumber daya besar. Sebab, yang sukses justru yang terkoneksi dan mau berkolaborasi,” tegasnya.
Kepada praktisi PR di korporasi maupun instansi pemerintah, Asmono berpesan, bahwa arah praktik kerja kolaboratif sangat penting dalam menempatkan reputasi di atas citra. Sebab, tandasnya, kalau praktisi PR hanya mengejar citra, reputasi belum tentu akan didapat. “Tapi kalau kita kejar reputasi, citra akan ikut terbentuk,” tutupnya. (EDA)