Kemajuan zaman bukan hanya mengubah pola pikir, tetapi juga pola pekerjaan. Termasuk dalam bidang kehumasan.
BALI, PRINDONESIA.CO – Era digital membawa perubahan besar dalam berbagai bidang, termasuk kehumasan. Disrupsi digital mendorong praktisi humas/public relations (PR) untuk beradaptasi dan mengubah pola kerja mereka.
Pernyataan ini disampaikan oleh Arif Gunawan Sulistyono, General Manager Corcom PT Semen Indonesia (Persero) Tbk. saat mengisi workshop PR INDONESIA Awards (PRIA) 2024 di Bali, Rabu (6/3/2024). “Disrupsi digital berefek pada komunikasi, bukan hanya komunikasi untuk personal, tetapi juga melingkupi komunikasi perusahaan,” katanya, tegas.
Perubahan paling kentara terjadi pada platform yang digunakan. Kini, ujar Arif, hampir seluruh praktisi PR menerapkan model PESO (paid, earned, shared, owned media) sebagai acuan taktik komunikasi perusahaan.
Kondisi ini berbeda dengan sebelum era digital. Ketika itu, PR hanya berkutat pada paid dan owned media. Platform yang digunakan untuk mendiseminasikan informasi pun hanya mengandalkan media massa, seperti cetak dan televisi. “Dulu aktornya lebih tersentralisasi, sekarang agen komunikasinya bisa beragam,” kata pria yang mengawali kariernya sebagai jurnalis.
Di samping itu, saat ini engagement menjadi tolok ukur penting dalam mengevaluasi efektivitas kinerja PR. Hal ini berbeda dengan masa lalu, di mana PR hanya fokus pada penyebaran informasi.
Makin Beragam
Bahkan, pria yang akrab disapa Argun ini melanjutkan, dalam era digital seperti sekarang, agen komunikasi tidak hanya berasal dari pihak manajemen, tetapi juga bisa datang dari internal perusahaan seperti karyawan. Keterlibatan karyawan sebagai brand ambadassador perusahaan dianggap efektif dalam mendukung kegiatan PR serta membangun reputasi perusahaan.
Aspek lain yang berubah adalah pola komunikasi. Sebelum terjadi disrupsi digital, pola komunikasi PR cenderung bersifat satu arah. yaitu dari perusahaan kepada publik. Namun, dengan kemajuan media sosial, terbuka kesempatan bagi publik untuk memberikan komentar, masukan, dan kritik secara langsung kepada perusahaan, menciptakan hubungan komunikasi dua arah.
Di dalam perusahaan sendiri, pola komunikasi antara manajemen dengan karyawan menjadi lebih pendek, tidak perlu lagi menempuh proses birokrasi yang panjang. Pun demikian dengan peran komunikasi yang telah berubah, tidak lagi hanya sebagai alat propaganda, tetapi juga sebagai platform dialog yang lebih luas. Menurut Arif, komunikasi PR kini memerlukan partisipasi audiens dan bertujuan untuk membangun hubungan baik dengan berbagai pemangku kepentingan.
Pemaparan Arif menarik perhatian peserta, salah satunya Budi dari Kementerian Perhubungan. Ia mempertanyakan terkait prioritas perubahan yang harus dilakukan mengingat banyaknya aspek PR yang terdampak oleh disrupsi digital.
Arif menjawab manajemen atau pimpinan seharusnya menjadi pihak pertama yang beradaptasi dengan perubahan tersebut, karena keberhasilan perubahan dalam komunikasi PR akan tergantung pada dukungan dan inisiatif dari pihak manajemen. "Apabila manajemen memiliki niat dan kesediaan untuk berubah, segalanya dapat berjalan lancar," katanya. (AZA)