PR Diminta Waspada, Ini 4 Kondisi yang Mengganggu Stabilitas Pemilu
PRINDONESIA.CO | Rabu, 23/08/2023 | 1.053
PR Diminta Waspada, Ini 4 Kondisi yang Mengganggu Stabilitas Pemilu
Kepada praktisi PR, founder and Managing Director AsiaPR ini berpesan agar PR turut andil dalam memberikan edukasi bahwa kampanye itu bersifat engaging atau merangkul.
Dok. Freepik.com

JAKARTA, PRINDONESIA.CO – Dalam acara Rapat Koordinasi Nasional (Rakornas) Kepala Daerah dan Forum Komunikasi Pimpinan Daerah (Forkopimda) Se-Indonesia yang berlangsung di Bogor, Selasa (17/1/2023), Presiden RI Joko Widodo meminta seluruh jajarannya untuk menjaga stabilitas politik dan keamanan menjelang pemilihan umum (Pemilu) tahun 2024.

Presiden berpesan agar masyarakat jangan sampai menjadi korban politik, terutama politik identitas. “Saya minta betul-betul, saudara-saudara bisa menjaga situasi kondusif, menjaga agar masyarakat kita tidak menjadi korban politik, namanya politik identitas,” katanya, tegas.

Isu menjaga stabilitas selama pemilu ini juga menjadi perhatian Silih Agung Wasesa saat mengisi diskusi 3rd PR Outlook 2023 bertajuk “Pemilu Jangan Ganggu Stabilitas: Mulutmu Harimaumu” secara daring, Kamis (13/4/2023).

Menurut founder Konner Advisory Silih Agung Wasesa, terdapat empat kondisi yang dapat mengganggu stabilitas pemilu. Di antaranya, pertama, kondisi perebutan kursi presiden. Hal ini dikarenakan pada pemilu kali ini, Indonesia akan memilih Presiden dan Wakil Presiden yang baru mengingat Presiden Joko Widodo sudah terpilih selama dua periode. 

Kondisi ini harus diwaspadai sebab ada kemungkinan terjadi sikap saling mengejek dan menjelekkan lawan politik. Menurutnya, di sinilah pentingnya peran public relations (PR) untuk mengedukasi bahwa saat ini adalah tahun kolaboratif. “Jika tidak berkampanye dengan kolaborasi, justru akan menguntungkan lawan,” ujar pria yang merupakan mantan Wakil APPRI ini.

Kondisi kedua, yakni munculnya media sosial, buzzer berbayar, dan hoaks yang telah menjelma menjadi komunitas tersendiri. Silih berpendapat kehadiran buzzer hampir tidak mungkin dihilangkan karena dua alasan.

Pertama, kata pria peraih gelar Sarjana Psikologi dari Universitas Gadjah Mada tersebut, buzzer sudah menjadi industri. Kedua, buzzer sudah diformalisasi oleh gerakan, partai politik pemenang pemilu, dan pemerintah. “Jika tidak diantisipasi dengan bagus, stabilitas ekonomi terancam terganggu,” lanjut penulis buku Strategi Public Relations itu.

Kondisi ketiga yang dapat mengganggu stabilitas adalah pelaksanaan Pemilu 2024 yang berlangsung secara serentak. Hal ini memungkinkan terjadinya back-to-back campaign. “Calon anggota legislatif (caleg) dan capres saling melakukan back-up campaign. Jika situasinya lebih banyak membawa kepada kampanye yang negatif, maka muncul kondisi saling menjelekkan lawan politik,” ujarnya.

Keempat, adanya petualang politik. Petualang politik merupakan istilah bagi orang yang mencari “sekoci penyelamat”. Era pemerintahan Presiden Jokowi yang segera berakhir, mendorong para petualang politik untuk mencari dan mendukung calon tuan barunya.

Sebab, jika tidak, konsekuensi yang mereka hadapi adalah tidak mendapatkan posisi untuk lima atau bahkan sepuluh tahun ke depan. Permasalahan lainnya yang dapat mengganggu stabilitas adalah media yang masih memberikan panggung untuk kampanye negatif.

Kepada praktisi PR, founder and Managing Director AsiaPR ini berpesan agar PR turut andil dalam memberikan edukasi bahwa kampanye itu bersifat engaging atau merangkul. “Kampanye bukan hanya memberikan saran dan sosialisasi, namun juga merangkul semua pihak,” tutupnya. (mfp)

BERITA TERKAIT
BACA JUGA
tentang penulis
komentar (0)
TERPOPULER

Event

CEO VIEW

Interview

Figure

BERITA TERKINI