Teknologi canggih tak menjamin literasi membaik. Diskusi HUMAS INDONESIA Outlook 2026 menyimpulkan perlunya penyederhanaan pesan demi meredam agresivitas warganet yang kian tajam.
BANDUNG, PRINDONESIA.CO – Lanskap komunikasi publik tahun 2026 dihadapkan pada paradoks tajam antara kemajuan teknologi digital dan stagnasi kemampuan literasi audiens. Meski kanal informasi membanjiri ruang publik dengan kecepatan tinggi, kemampuan masyarakat mencerna substansi pesan justru berjalan di tempat. Fenomena ini menuntut praktisi humas untuk segera merombak total pendekatan komunikasinya.
Hal tersebut menjadi sorotan utama HUMAS INDONESIA Outlook (HIO) 2026 yang berlangsung di Graha Pos Indonesia, Bandung, Jawa Barat, Selasa (16/12/2025). Diskusi yang dipandu oleh Head of Public Relations and Analyst Telkom University Dini Salmiyah Fithrah Ali itu menghadirkan Sekretaris Dinas Komunikasi dan Informatika Pemerintah Provinsi Jawa Barat Bayu Rakhmana, Vice President Corporate Communications PT Pos Indonesia Yustina Widawati, Pemimpin Redaksi PRFM News Channel Iqbal Pratama, dan Dekan I Fakultas Komunikasi & Ilmu Sosial Telkom University Martha Tri Lestari.
Satu pembahasan menarik datang dari Martha. Dalam paparannya ia menegaskan, humas tidak bisa memasuki 2026 dengan bahasa teknis maupun akademis kepada audiens yang enggan membaca tulisan panjang. "Tantangan terbesar kita adalah menerjemahkan kebijakan yang kompleks menjadi sajian informasi yang sangat sederhana, visual, dan langsung pada intinya agar mudah diterima nalar publik," ujarnya.
Pernyataan Martha didukung oleh data Program for International Student Assessment (PISA) yang menempatkan minat baca Indonesia di peringkat 60 dari 61 negara. Kondisi ini diperparah dengan rata-rata IQ penduduk yang berada di angka 78,49 atau posisi 115 dunia. Realitas statistik tersebut menjadi alarm keras bagi praktisi kehumasan agar segera meninggalkan gaya komunikasi birokratis yang rumit dan berjarak. "Pesan yang terlalu ‘tinggi’ hanya akan melahirkan resistensi publik alih-alih pemahaman," kata perempuan yang juga menjabat Wakil Ketua II BPC Perhumas Bandung itu.
Rendahnya literasi ini berkelindan dengan buruknya etika digital. Laporan Digital Civility Index tahun 2021 dari Microsoft bahkan menobatkan warganet Indonesia sebagai yang paling tidak sopan se-Asia Tenggara. Oleh karena itu, menurut Martha, praktisi humas kini harus bersiap menghadapi gelombang komentar pedas, hoaks, dan serangan siber tanpa terpancing emosi. Situasi ini memaksa humas untuk lebih taktis dalam merancang narasi agar tidak memicu kemarahan warganet.
Strategi Pesan Berbasis Data
Secara garis besar, Martha merekomendasikan pendekatan komunikasi yang digestible atau mudah cerna sebagai solusi utama meredam agresivitas di ruang maya. Penyederhanaan pesan tanpa mengurangi substansi menjadi kunci mutlak agar informasi kebijakan dapat diterima tanpa memicu bias interpretasi. "Humas harus mampu mengubah data rumit menjadi konten renyah yang dapat dipahami dalam hitungan detik," imbuhnya.
Lebih lanjut Martha menjelaskan, perancangan pesan tersebut wajib dilakukan dengan berbasis data analitik dan pemetaan SWOT (Strengths, Weaknesses, Opportunities, Threats) yang matang guna memitigasi risiko. Jika terdapat ancaman (threat) isu, narasi yang dibangun harus bersifat avoid (menghindari) atau thwart (menggagalkan) untuk mencegah eskalasi krisis. Strategi ini memastikan setiap kata yang disampaikan telah terukur dampaknya terhadap psikologis massa.
Transformasi tersebut, tandas Martha, menuntut humas bergerak dari sekadar penyebar rilis menjadi arsitek pesan yang memahami sosiologi masyarakat digital. Hal ini selaras dengan pemikiran Simon Lindgren dalam bukunya Digital Media and Society (2021), yang menyebutkan bahwa keberhasilan komunikasi di era digital sangat bergantung pada kemampuan memahami struktur sosial dan budaya audiens di jejaring maya. Kesiapan beradaptasi dengan karakter audiens yang unik akan menentukan keberhasilan reputasi organisasi di masa depan. (Arfrian R.)