Periset Pusat Riset Kebijakan Publik (PRKP) Devi Tri Indriasari berpandangan, dewasa ini pemerintah dianggap tidak bekerja sementara masyarakat merasa kurang didengar. Hal itu yang kemudian membuat kedua belah pihak hanya berteriak dan tidak mempercayai satu sama lain.
JAKARTA, PRINDONESIA.CO – Komunikasi publik yang baik bukan sekadar menyampaikan pesan, tetapi juga membangun kepercayaan masyarakat. Hal tersebut ditegaskan Kepala Pusat Riset Kebijakan Publik Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Yanuar Farida Wismayanti. Oleh karena itu, menurutnya, trust building menjadi hal yang sangat penting karena dapat memastikan masyarakat untuk menjadikan pesan yang disampaikan pemerintah sebagai acuan dalam memahami kebijakan.
Disampaikannya saat mengisi diskusi bertajuk Eranya Ngobrolin Public Policy (Elaborasi) di BRIN KST Sarwono Prawirohardjo, Jakarta, Kamis (25/9/2025), Yanuar juga menekankan pentingnya kolaborasi antara pejabat publik, peneliti, dan akademisi dalam konteks membangun kepercayaan publik.
Menurutnya, kolaborasi yang terbangun lintas pihak tersebut dapat melahirkan pendekatan yang lebih inklusif. “Sehingga dapat melahirkan pendekatan komunikasi yang lebih efektif dan membumi dalam mengomunikasikan kebijakan publik,” ujarnya dilansir dari laman resmi BRIN, Sabtu (27/9/2025).
Sementara itu dalam kesempatan yang sama, periset Pusat Riset Kebijakan Publik (PRKP) Devi Tri Indriasari menyoroti urgensi dialog ketika bicara soal membangun kepercayaan publik. Ia melihat, di tengah derasnya arus informasi seperti sekarang dialog cenderung absen. Kondisi ini, katanya, praktis menurunkan kepercayaan publik. Hal tersebut diperparah dengan kebisingan ruang publik, masifnya bujuk rayu politik dan gimik komersial, dan situasi ketika pemerintah maupun masyarakat sama-sama bicara tetapi tidak saling mendengar.
Komunikasi Dialogis
Mengenai poin terakhir di atas, Devi menjelaskan, dewasa ini pemerintah dianggap tak bekerja sementara masyarakat merasa tak didengar. Hal itu yang kemudian membuat kedua belah pihak hanya berteriak tanpa berdialog. Oleh karena itu, Devi menekankan pentingnya menghidupkan kembali ruang dialog, entah itu secara daring maupun tatap muka, dengan catatan pemerintah benar-benar mendengar aspirasi masyarakat.
Pandangan tersebut disepakati oleh Dekan Fisipol Universitas Gadjah Mada (UGM) Wawan Mas’udi dan Co-founder GOVCOM Insight Irwan Hermawan. Mereka berdua satu suara bahwa dialog dengan para pemangku kepentingan merupakan kunci untuk menumbuhkan konsensus, legitimasi, dan kepercayaan publik.
Sejalan, penelitian berjudul Pengaruh Komunikasi Dialogis Terhadap Kepercayaan Pada Pemerintah (2023) karya Andhini Hastrida dan Hendriyani menunjukkan bahwa faktor iklim keterbukaan, pemberian akses yang sama dalam komunikasi, serta lingkungan komunikasi yang menunjukkan kejujuran dan keaslian dalam dialog secara efektif, punya pengaruh yang besar dalam meningkatkan kepercayaan publik pada pemerintah.
Dalam konteks kekinian, hasil penelitian tersebut juga mengungkap bahwa komunikasi dialogis melalui media sosial memiliki peran cukup besar untuk membangun kepercayaan publik. “Hasil penelitian ini juga membenarkan sifat interaktif dan kolaboratif dari media sosial memungkinkan organisasi untuk menunjukkan orientasi mutualitas dan menciptakan iklim keterbukaan dalam komunikasi dialogis,” tulisnya. (EDA)