Indeks Skor Tinggi Bukan Jaminan Keberhasilan Komunikasi
PRINDONESIA.CO | Rabu, 24/09/2025
Indeks Skor Tinggi Bukan Jaminan Keberhasilan Komunikasi
Pranata Humas Dinas Komunikasi dan Informatika (Kominfo) Jawa Timur (Jatim) Eko Setiawan
doc/PR INDONESIA

SURABAYA, PRINDONESIA.CO – Menjadi salah satu pembicara dalam sesi Konferensi Anugerah HUMAS INDONESIA (AHI) 2025 yang berlangsung di Hotel Platinum, Surabaya, Selasa (23/9/2025), Pranata Humas Dinas Komunikasi dan Informatika (Kominfo) Jawa Timur (Jatim) Eko Setiawan memaparkan data impresif yang menunjukkan keberhasilan program komunikasi Pemerintah Provinsi (Pemprov) Jatim.

Berdasarkan data yang ia paparkan, diketahui bahwa Indeks Kepuasan Masyarakat (IKM) Pemprov Jatim per Agustus 2025 mencapai skor 93,57, alias masuk dalam kategori "sangat baik". Prestasi serupa juga tercatat dalam Indeks Keterbukaan Informasi Publik (IKIP) tahun 2024, ketika posisi Jatim berhasil meroket dari peringkat ke-24 nasional menjadi peringkat ke-2. Kendati demikian, Eko justru melempar pertanyaan retoris apakah capaian angka tersebut benar-benar selaras dengan pemahaman masyarakat terhadap kebijakan. 

Sebab, lanjutnya, sebagai praktisi humas yang telah berkarier sejak 2011, Eko kerap menemukan bahwa skor tinggi tidak selalu berbanding lurus dengan komunikasi yang efektif. “Angka-angka ini menggambarkan program komunikasi Pemprov Jatim dijalankan dengan baik. Namun, kita perlu meninjau ulang apakah kepuasan dan pelayanan benar-benar sejalan untuk mengukur efektivitas komunikasi kebijakan, bukan sekadar kualitas teknis layanan,” ungkapnya.

Jurang Pemisah Antara Pemerintah dan Publik

Eko pun menguraikan masalah tersebut menggunakan konsep kerangka acuan (frame of reference) dan bidang pengalaman (field of experience) dari teori komunikasi Wilbur Schramm yang tercakup dalam buku Ilmu Komunikasi Suatu Pengantar (2019) karya Deddy Mulyana. Menurut Schramm, komunikasi yang efektif hanya terjadi jika ada irisan pemahaman yang sama antara komunikator dan audiens.

Masalahnya, terang Eko, terdapat jurang pemahaman yang lebar antara perumus kebijakan dengan masyarakat. Para birokrat, katanya, berbicara dengan kerangka acuan teknis dan birokratis. Sementara masyarakat memahami isu dari pengalaman hidup sehari-hari. "Ada jurang besar antara frame of reference dan field of experience masyarakat dan perumus kebijakan," jabar peraih gelar Magister Media dan Komunikasi Universitas Airlangga Surabaya itu.

Eko mencontohkan hal tersebut dengan kebijakan kenaikan biaya administrasi surat kendaraan yang sering kali dipahami masyarakat sebagai kenaikan pajak. Contoh lain, program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) justru lebih dikenal dengan nama lembaga penyelenggaranya yaitu BPJS.

Secara garis besar, diskusi yang dipantik Eko dalam sesi Konferensi AHI 2025 mengerucut pada satu kesimpulan. Menurutnya, komunikasi publik pemerintah harus bertransformasi, dari sekadar menyediakan informasi menjadi memastikan informasi tersebut dipahami dengan benar. "Sudah saatnya kita menyadari bahwa kebijakan dan paradigma kita tentang keterbukaan informasi perlu untuk ditinjau ulang. Sehingga keterbukaan informasi tidak menjadi ilusi," tandasnya.

Ikuti terus informasi tentang rangkaian acara puncak AHI 2025 hanya di humasindonesia.id dan prindonesia.co(ARF)

BERITA TERKAIT
BACA JUGA
tentang penulis
komentar (0)
TERPOPULER

Event

CEO VIEW

Interview

Figure

BERITA TERKINI