Upaya merangkul kesalahan seperti dilakukan Head & Shoulders Indonesia dan sempat pula diterapkan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka bisa jadi peluang dalam memperkuat autentisitas dan engagement dengan audiens.
JAKARTA, PRINDONESIA.CO – Salah sebut atau slip tongue ketika berkomunikasi merupakan hal yang umum. Dalam dunia komunikasi publik dan public relations (PR), hal tersebut biasanya memerlukan koreksi segera, agar audiens tidak kadung keliru menafsirkan makna ucapan, dan pesan dapat tersampaikan dengan baik. Namun, dalam konteks dan taraf tertentu, salah ucap bisa jadi peluang untuk membangun percakapan dan kedekatan dengan publik.
Seperti dilakukan Head & Shoulders Indonesia yang menggarap kampanye dari kesalahan pengucapan nama brand tersebut oleh warganet di media sosial. Alih-alih memandang kesalahan ucap oleh seorang ibu bernama Dian sebagai sesuatu yang perlu dikoreksi, merek sampo asal Amerika Serikat itu justru menggelar kampanye dan menggandeng sang ibu untuk menjadi digital brand ambassador.
Head & Shoulders Indonesia bahkan sampai mengubah nama akun Instagramnya menjadi “Het & Soldier” dan akun TikTok menjadi “Het en Soder”, menyesuaikan dengan pelafalan informal di masyarakat. Menurut Brand Communications Hair Care P&G Indonesia Hepu Saydino, dengan langkah ini pihaknya ingin menegaskan relevansi brand secara fungsi maupun emosi dengan konsumen. “Ini menunjukkan bahwa produk kami tidak hanya relevan secara fungsional, tetapi juga dekat secara emosional dengan masyarakat Indonesia,” ujarnya dilansir dari Mix.co.id, Rabu (10/9/2025).
Pemanfaatan kesalahan ucap juga pernah terjadi di ranah publik. Wakil Presiden Republik Indonesia Gibran Rakabuming Raka, misalnya, pernah salah menyebut “asam folat” menjadi “asam sulfat” saat membicarakan zat penting yang dibutuhkan ibu hamil di momen-momen kampanye Pemilihan Umum (Pemilu) 2024 lalu.
Pada saat itu, Gibran tidak hanya mengoreksi dan mengakui kesalahannya, tetapi juga memanfaatkan pembicaraan publik dan julukan “samsul” yang disematkan warganet sebagai peluang penguatan branding personal. Dalam beberapa kesempatan, mantan Wali Kota Surakarta itu bahkan tampak mengenakan jaket bertuliskan “samsul”, pun para pendukungnya.
“Self-Deprecating Humor”
Merujuk temuan dalam penelitian berjudul Dampak User-Generated Content Terhadap Brand Equity Dalam Membentuk Niat Pembelian Pada Brand Makanan Dan Minuman di TikTok (2024) karya Abiyyu dan Aqshel, konten yang berorientasi pada pengguna seperti pada kasus Head & Shoulders Indonesia dan “samsul”-nya Gibran, memang dapat memperkuat brand equity dan memengaruhi niat beli atau ketertarikan audiens.
Sementara dalam perspektif public relations, apa yang dilakukan Gibran dengan kesalahan ucapnya dapat dilihat sebagai suatu strategi dalam teori situational crisis communication (SCCT) oleh Combs (2007). Sebab, ada upaya mengakui kesalahan, bersikap transparan, dan melakukan reframing untuk meminimalkan kerusakan reputasi.
Dalam konteks yang lebih luas, dua contoh kasus di atas juga dapat dilihat sebagai self-deprecating humor. Penelitian bertajuk Self Deprecating Humor Dalam Komunikasi Politik (2025) karya Salma dan Mahfud menjelaskan, kesalahan sebut yang dijadikan humor dapat memberikan dampak signifikan terhadap citra, khususnya dalam meningkatkan kesan rendah hati dan kedekatan dengan audiens. “Adanya humor mengurangi resistensi audiens terhadap kritik serta berperan sebagai alat persuasi yang efektif,” kata sang penulis. (EDA)