Pakar Beri Catatan Konstruktif untuk Komunikasi Publik Pejabat
PRINDONESIA.CO | Senin, 01/09/2025
Pakar Beri Catatan Konstruktif untuk Komunikasi Publik Pejabat
Presiden Prabowo Subianto menyampaikan bela sungkawa di kediaman pribadinya di Hambalang, Kabupaten Bogor, pada Jumat, 29 Agustus 2025.
doc/BPMI Setpres

JAKARTA, PRINDONESIA.CO – Gelombang demonstrasi di sejumlah kota di Indonesia dalam sepekan terakhir berakar salah satunya dari buruknya komunikasi publik para pejabat negara. Alih-alih memperkuat kepercayaan dengan masyarakat, komunikasi publik pejabat negara ini justru kerap memperlebar jurang ketidakpercayaan.

Jika ditelusuri ke belakang, komunikasi dan pernyataan yang tidak empatik dari pejabat publik di Indonesia bukan barang baru. Blunder demi blunder yang terus berulang dari waktu ke waktu ini menunjukkan adanya masalah struktural dalam komunikasi publik pejabat Indonesia.

Hal tersebut ditegaskan oleh pakar Komunikasi Politik Universitas Airlangga (Unair) Suko Widodo. Menurutnya, komunikasi pejabat di Indonesia saat ini masih dipengaruhi budaya politik feodal yang menekankan pola relasi atasan-bawahan (top-down), sehingga banyak dari mereka terjebak dalam gaya komunikasi elitis, normatif, bahkan arogan. “Publik sering merasa bukan diajak berdialog, melainkan digurui,” ujarnya dikutip laman resmi Unair, Rabu (27/8/2025).

Pola relasi semacam itu, lanjut Suko, juga berdampak pada budaya meminta maaf. Di banyak negara maju, katanya, meminta maaf atau mundur adalah bentuk tanggung jawab moral. Sementara di Indonesia, mundur dianggap kelemahan. “Hal ini juga berkaitan dengan kultur politik patrimonial dan oligarkis yang memandang jabatan sebagai privilese bukan amanah,” imbuhnya.

Contoh nyata terlihat dalam pernyataan resmi Presiden Prabowo Subianto pada pada Jumat (29/8/2025), terkait meninggalnya pengemudi ojek online bernama Affan Kurniawan akibat dilindas kendaraan taktis (rantis) Brimob dalam aksi demonstrasi hari Kamis (28/8/2025). Dalam pernyataan berdurasi empat menit itu, tidak terdengar satu pun kalimat permintaan maaf karena negara telah gagal melindungi warganya. “Permintaan maaf itu bentuk paling dasar dari tanggung jawab. Tapi beliau tidak memilih itu dan tetap berada di posisi netral seolah-olah dia hanya pengamat bukan pelaku,” kritik Direktur Eksekutif PARA Syndicate Virdika Rizky Utama yang dikutip dari Tempo.co, Jumat (29/8/2025)

Empat Langkah Penting

Untuk menghindari kesalahan yang sama di masa depan, Suko pun menawarkan empat solusi penting. Pertama, membekali pejabat dengan keterampilan komunikasi, termasuk listening skill dan crisis communication. Kedua, membangun budaya akuntabilitas agar meminta maaf atau mundur tidak dipandang sebagai kelemahan.

Ketiga, memanfaatkan media digital untuk dialog dan transparansi, bukan hanya untuk pencitraan. Keempat, pimpinan tertinggi harus memberikan teladan komunikasi empatik agar nilai ini mengalir ke seluruh birokrasi. “Jika empat hal ini diterapkan secara konsisten, pejabat publik bisa lebih percaya dan dekat dengan masyarakat,” tutup Suko.

Sebagaimana juga sempat disampaikan dosen Sekolah Bisnis dan Manajemen Institut Teknologi Bandung (SBM ITB) Nurlaela Arief dalam workshop Jambore PR INDONESIA (JAMPIRO) #9 di Yogyakarta, Kamis (26/20/2023), penting bagi seorang pemimpin untuk memiliki kemampuan komunikasi empatik, karena dapat memastikan rasa saling percaya, dukungan, dan mengurangi konflik. Namun, tegasnya,  komunikasi empatik tidak bisa dilepaskan dari sensitivitas dan kepekaan. Dalam konteks ini, kepekaan perlu diasah melalui keterampilan mendengarkan secara aktif. (EDA)

BERITA TERKAIT
BACA JUGA
tentang penulis
komentar (0)
TERPOPULER

Event

CEO VIEW

Interview

Figure

BERITA TERKINI