Pakar Komunikasi UMY Beri Catatan untuk Gaya Komunikasi Arogan Pejabat
PRINDONESIA.CO | Rabu, 13/08/2025
Pakar Komunikasi UMY Beri Catatan untuk Gaya Komunikasi Arogan Pejabat
Pakar Komunikasi Politik Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY) Dr. Nur Sofyan, M.I.Kom
doc/umy

YOGYAKARTA, PRINDONESIA.CO – Masyarakat Pati, Jawa Tengah, berencana menggelar aksi demonstrasi besar-besaran pada hari ini, Rabu (13/8/2025), sebagai respons terhadap kebijakan Bupati Pati Sudewo yang akan menaikkan Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan atau PBB-P2 tahun 2025 hingga mencapai 250 persen.

Alih-alih menenangkan warganya yang telah mengemukakan rencana tersebut dengan berdiskusi secara humanis, Sudewo justru menunjukkan sikap seolah menantang. “Siapa yang akan melakukan penolakan, Yayak Gundul? Silakan lakukan, jangan hanya 5.000 orang, 50.000 orang pun suruh kerahkan, saya tidak akan gentar. Saya tidak akan mengubah keputusan itu, tetap maju,” ujarnya dikutip dari rekaman video yang diunggah Inilah.com, Kamis (7/8/2025).

Sikap Sudewo tersebut seketika menjadi sorotan. Publik menilai kebanyakan gaya komunikasi pejabat Indonesia saat ini arogan. Mereka juga menganggap penting adanya perbaikan etika komunikasi pejabat publik di Indonesia. Urgensi perbaikan etika komunikasi pejabat publik juga seakan menguat dari pernyataan pakar komunikasi politik Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY) Dr. Nur Sofyan, M.I.Kom.

Dalam artikelnya di laman resmi UMY, Sofyan menjelaskan, setiap pernyataan pejabat publik memiliki efek langsung terhadap persepsi masyarakat. Oleh karena itu, menurut hematnya, pejabat harus peka terhadap apa yang dirasakan masyarakat. “Jangan sampai ucapan menimbulkan gejolak sosial hanya karena disampaikan secara reaktif atau emosional,” tulisnya, Senin (11/8/2025).

Sofyan melanjutkan, dalam perspektif social judgement theory, publik menilai ucapan pejabat berdasarkan pengalaman dan harapan mereka. Sebuah ucapan dapat diterima atau ditolak tergantung pada kesesuaiannya dengan sensitivitas masyarakat. Menurutnya, tidak sedikit kebijakan gagal bukan karena substansinya, melainkan karena komunikasi yang tidak tepat.

Alumnus Universitas Diponegoro itu juga menekankan pentingnya symbolic communication, yaitu kemampuan menyampaikan pesan yang tidak hanya informatif, tetapi juga membangun makna, rasa aman dan kepercayaan publik. “Pengendalian ego sebelum berbicara adalah kunci. Jangan sampai pernyataan yang diucapkan justru kontraproduktif. Sebab, dapat  menghambat implementasi kebijakan,” tegasnya.

Dampak Buruk Gaya Komunikasi Arogan

Gaya komunikasi yang arogan, lanjut Sofyan, tidak hanya dapat merusak citra pejabat dan menggugurkan kepercayaan publik, tetapi juga berpotensi memicu polarisasi dan konflik sosial di tengah keberagaman masyarakat Indonesia. Ia mengingatkan bahwa sensitivitas simbolik masyarakat sangat tinggi, sehingga pernyataan yang gegabah dapat membelah opini publik.

Bagi Sofyan, pejabat publik bukan hanya wakil pemerintah, tetapi bagian dari masyarakat yang seyogianya dapat merangkul simbol-simbol keberagaman di masyarakat. Oleh karena itu, ucapan para pejabat publik seharusnya dapat merangkul keberagaman dan keprihatinan yang masih dirasakan masyarakat. “Komunikator politik yang baik adalah yang mampu merangkul semua pihak. Setelah menjadi pejabat, mereka tidak lagi berbicara untuk diri sendiri, melainkan untuk seluruh pemangku kepentingan yang dipimpinnya,” pungkasnya. (EDA)

BERITA TERKAIT
BACA JUGA
tentang penulis
komentar (0)
TERPOPULER

Event

CEO VIEW

Interview

Figure

BERITA TERKINI