Melina menjelaskan, implementasi keberlanjutan di level organisasi terkadang sulit untuk dimengerti publik awam. Oleh karena itu, alih-alih hanya menyuguhkan siaran pers bernada kaku penuh data dan angka, praktisi PR perlu menggencarkan narasi yang menyentuh dan mudah dipahami.
JAKARTA, PRINDONESIA.CO – Kesadaran akan praktik bisnis berkelanjutan dapat dipupuk lewat komunikasi. Dalam konteks ini, pakar komunikasi dan sustainability Melina Karamoy berpandangan, storytelling adalah senjata yang dapat diandalkan praktisi public relations (PR).
Disampaikannya dalam MAW Talk #64, Jumat (25/7/2025), saran tersebut perlu ditindaklanjuti praktisi PR yang merasa program dan komunikasi terkait keberlanjutan masih kurang mendapat atensi publik maupun media massa. “Dari obrolan dengan teman-teman corporate communication, penyebab dari masalah ini adalah kurangnya penyajian storytelling,” ujarnya.
Melina menjelaskan, implementasi keberlanjutan di level organisasi terkadang sulit untuk dimengerti publik awam. Oleh karena itu, alih-alih hanya menyuguhkan siaran pers bernada kaku penuh data dan angka, praktisi PR perlu menggencarkan narasi yang menyentuh dan mudah dipahami. “Jangan hanya menyuguhkan apa yang dilakukan oleh perusahaan. Tampilkan apa yang sebenarnya dibutuhkan masyarakat, dan menjadi keuntungan bagi masyarakat,” imbaunya.
Dengan kata lain, lanjut Melina, pemikiran dalam mengomunikasikan keberlanjutan harus dibalik. Rancangan narasi harus disusun dengan mempertimbangkan sisi masyarakat. Untuk dapat melakukannya, tegasnya, praktisi PR harus lebih dulu paham konsep sustainability. “Karena praktisi PR harus bisa melihat dengan jeli siapa yang berkepentingan dengan inisiatif keberlanjutan perusahaan,” tambahnya.
PR Harus Paham “Sustainability”
Kurangnya pemahaman praktisi PR mengenai sustainability hanya akan membawa bencana lewat komunikasi yang diluncurkan. Melina mengambil contoh kasus tentang penulisan hasil sustainability rating yang keliru. “Mungkin karena kurangnya pengetahuan, rating sekitar 30 dianggap baik. Padahal rating tinggi di sustainability itu tidak bagus, karena approach-nya adalah risiko,” jelasnya.
Lebih detail soal sustainability rating, Melina menjelaskan, besaran angka yang didapat menandakan kemampuan perusahaan atau organisasi dalam mengelola risiko. Semakin kecil angka, artinya dampak yang dihasilkan relatif lebih mudah untuk dikelola. “Saya juga pernah melihat banyak dari praktisi PR tidak mengerti ketika diminta membaca laporan keberlanjutan,” imbuhnya.
Padahal, tandas Melina, kemampuan dalam membaca laporan keberlanjutan bagi praktisi PR adalah hal yang penting. Sebab, di sana terdapat banyak hal yang dapat dijadikan materi publikasi demi mendongkrak citra dan reputasi perusahaan. (eda)