Praktisi sekaligus Digital PR Activist Febrianti Nadira mengungkapkan, praktik PR masa kini berada pada persimpangan antara dinamika, teknologi, kecerdasan buatan, tuntutan kredibilitas, dan kemampuan untuk terus memahami perubahan perilaku publik.
JAKARTA, PRINDONESIA.CO – Perubahan lanskap komunikasi yang begitu cepat membuat praktik public relations (PR) hari ini sangat berbeda dari pendahulunya. Hal ini ditekankan oleh praktisi sekaligus Digital PR Activist Febrianti Nadira. Menurutnya, transformasi yang terjadi sekarang merupakan tantangan tak terelakkan dan menuntut kesiapan strategis para praktisi PR di berbagai industri.
Dijelaskannya dalam acara Digital PR Connect: The New PR Architecture 2026 di Melting Pop, M Bloc Space, Jakarta, Rabu (10/12/2025), perubahan paling nyata terlihat dari pola konsumsi informasi masyarakat Indonesia yang mengalami pergeseran drastis. “Di tengah banjirnya informasi yang overload membuat sentimen publik cepat berubah, sementara alat ukur komunikasi tidak lagi sesederhana pada tingkat reach dan engagement,” ujarnya.
Menurut perempuan yang karib disapa Ira itu, tantangan terbesar praktisi PR adalah mengendalikan narasi di tengah arus informasi yang bergerak dari discovery content hingga commerce content. Dalam menyikapinya, kata Ira, media sosial memang krusial. Namun, media arus utama tetap memiliki peran penting sebagai rujukan kredibilitas. “Strategi PR harus berjalan seimbang. Media relations dengan digital media relations sama-sama penting dan saling melengkapi,” jelasnya.
Penyesuaian Strategi Organisasi dan Komunikasi
Praktisi PR yang telah 25 tahun berkecimpung di industri itu juga mengatakan bahwa kanal owned media seperti website tidak boleh diabaikan. Terutama karena algoritma sekarang dapat menarik data dari website dan kanal digital lainnya.
Namun, tegas Ira, terpenting di era sekarang adalah pentingnya keselarasan antara strategi organisasi dengan strategi komunikasi. Hal tersebut ia sampaikan untuk menjawab salah satu pertanyaan peserta tentang strategi lembaga pemerintah dalam memperkuat kepercayaan publik dan mengelola skeptisisme terhadap pesan institusi. “Praktisi PR harus memahami arah kebijakan pimpinan dan tujuan organisasi terlebih dahulu, sebelum dirumuskan ke dalam strategi komunikasi yang tepat apakah ingin penguatan reputasi, atau peningkatan kepercayaan publik atau pengelolaan krisis,” jawabnya.
Dengan pemahaman tersebut, tandas Ira, implementasi strategi dapat disiapkan secara lebih matang. Sehingga, apa yang dijalankan oleh praktisi PR tidak hanya untuk merespons krisis terjadi, tetapi juga membangun resiliensi komunikasi sejak tahap prakrisis. (EDA)