Karut Marut PR Pemerintah
PRINDONESIA.CO | Minggu, 02/10/2016 | 7.933
Karut Marut PR Pemerintah

Hajatan mudik lebaran yang berlangsung awal Juli lalu menjadi mimpi buruk bagi jajaran Kementerian Perhubungan (Kemenhub). Betapa tidak, persiapan matang yang sudah dilakukan jauh hari, malah berujung krisis akibat kemacetan panjang selama puluhan jam terjadi di tol Pejagan-Brebes. Ibarat panas setahun terhapus oleh hujan sehari, itulah Tragedi Brexit yang akhirnya meng-exit-kan Menteri Jonan dari kabinet kerja.

Padahal, di luar Kemenhub ada stakeholders lain yang juga turut bertanggungjawab atas tragedi Brexit. Seperti Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR), Badan Pengatur Jalan Tol (BPJT), Korlantas Polri, operator jalan tol, dan pemerintah daerah. Namun, sorotan publik seolah hanya tertumpah ke Kemenhub.

“Kami dapat mengerti karena koordinatornya kan Kemenhub. Hanya saja sebagai koordinator kita tidak punya hak dan kewenangan untuk meng-overide aturan yang ada di kementerian/lembaga lain,” kata Kepala Biro Komunikasi dan Informasi Publik Kementerian Perhubungan Hemi Pamuraharjo kepada Majalah PR INDONESIA di Jakarta, Senin (15/8/2016).

Krisis arus mudik makin memanas, menyusul reaksi Menteri Jonan yang kurang simpatik terhadap laporan adanya 12 pemudik yang tewas diduga akibat kemacetan. “Kenapa waktu itu Pak Menteri Jonan tidak langsung meminta maaf, karena kita melihat bahwa dalam isu Brexit masalahnya ada beberapa faktor di luar tugas fungsi Kemenhub, yang melibatkan banyak unit kerja atau kementerian lembaga lain,” tambah Hemi.

Kendati begitu, toh akhirnya Jonan pun minta maaf kepada publik pada saat penutupan posko lebaran di kantor Kemenhub. Tapi, bagi publik pernyataan itu jelas sangat terlambat. Nasi sudah menjadi bubur, krisis sudah terlanjur terjadi. Masalahnya, apakah Kemenhub memiliki langkah preventif untuk mencegah isu menjadi krisis, misalnya melalui manajemen isu? Di mana peran Kominfo sebagai koordinator government public relations (GPR) dalam tragedi Brexit?

Vaksin Palsu

Selain krisis Brexit, pada saat yang hampir bersamaan, pemerintah juga menghadapi krisis terkait vaksin palsu. Pasca pengumuman 14 rumah sakit dan 8 klinik/bidan yang menggunakan vaksin palsu oleh Menteri Kesehatan (Menkes) Nila F. Moeloek pada pertengahan Juli lalu (14/7), ratusan orangtua yang curiga anaknya menjadi korban vaksin palsu berbondong-bondong mendatangi rumah sakit yang disebut Menkes.

Di bilangan Ciracas Jakarta Timur, mereka mendatangi Rumah Sakit Harapan Bunda. Di Tangerang, Rumah Sakit Mutiara Bunda juga menjadi tujuan yang sama. Pun demikian di Bekasi, tempat sebagian besar rumah sakit yang disebut Menkes.

Di tengah sengkarut vaksin palsu yang kian memanas, Kementerian Kesehatan dan Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM), menjadi sorotan publik. Peran mereka sebagai pengambil kebijakan dan pengawas peredaran obat, termasuk vaksin, dipertanyakan. Lebih jauh, manajemen isu dan krisis di lembaga tersebut juga menjadi sorotan.

Wakil Ketua Komite III DPD RI Fahira Idris dalam rilis yang disebar ke media, Rabu (20/7/2016), mendesak pemerintah agar menangani kasus vaksin palsu dengan manajemen krisis yang baik sehingga tidak membingungkan publik. Hal senada diungkapkan pengamat kebijakan publik Agus Pambagio dalam diskusi publik “Dari Brexit hingga Vaksin Palsu, di Mana  Peran Negara?” yang diselenggarakan Serikat Perusahaan Pers (SPS) Pusat, di Gedung Dewan Pers, Jumat (29/7/2016).

Dalam kondisi krisis masyarakat membutuhkan informasi yang jelas sehingga dapat memberikan kepastian dan ketenangan. “Masyarakat butuh informasi detil. Selama seminggu kita bertanya-tanya. Vaksin yang mana yang dipalsukan, untuk usia berapa. Kemudian baru diketahui ternyata yang dipalsukan adalah vaksin tambahan dan impor bukan vaksin produksi lokal,” katanya.

Menanggapi dinamika yang berkembang di masyarakat terkait vaksin palsu, Kepala Biro Komunikasi dan Pelayanan Masyarakat Kemenkes Oscar Primadi menegaskan, pemerintah prihatin atas beredarnya vaksin palsu. Ia memastikan, sejak awal terungkapnya kasus ini, Kemenkes tidak tinggal diam.

Kemenkes langsung mengambil langkah penanganan mulai dari berkoordinasi dengan Bareskrim Polri dan BPOM untuk memeriksa kandungan vaksin palsu, mengidentifikasi dan mengumpulkan fakta-fakta di fasilitas pelayanan kesehatan, membentuk Satgas Penanggulangan Vaksin Palsu bersama Polri dan BPOM, hingga melakukan vaksinasi ulang.

“Kami langsung bergerak cepat. Kami buka crisis center dan mengaktifkan call center Halo Kemkes untuk pengaduan.  Seluruh Puskesmas di Jakarta membuka posko, 45 posko juga dibuka di Kabupaten Bekasi, 5 posko di Kota Bekasi, dan 1 posko di Tangerang,” kata Oscar saat menjadi pembicara dalam diskusi publik di SPS Pusat, Jumat (29/7/2016).

Seiring itu, Oscar melalui biro yang dipimpinnya juga terus mengomunikasikan ke publik mengenai perkembangan terkini penanganan vaksin palsu. Ia mengakui, mengelola komunikasi krisis vaksin palsu bukan hal mudah. “Yang berat memang dari sisi komunikasinya, terlebih setelah nama-nama rumah sakit kami umumkan di DPR,” ungkap Oscar.

Menurut praktisi PR senior Maria Wongsonagoro, sejatinya krisis dapat diantisipasi melalui sebuah communication tool yaitu issues management. Maria menjelaskan, issues management merupakan fungsi manajemen yang mengkaji opini publik secara proaktif, baik internal maupun eksternal, mengidentifikasi berbagai kemungkinan maupun peristiwa yang mungkin terjadi, dan mengelolanya sebelum issue tersebut berkembang menjadi suatu krisis.

“Walaupun krisis kadang tidak bisa terelakkan, namun lembaga atau perusahaan sudah mempersiapkan diri menghadapinya akan lebih siap,” kata Maria saat ditemui Majalah PR INDONESIA di kawasan Pondok Indah, Kamis (11/8/2016). Mengadopsi issues management dapat dimulai dengan membentuk issues management team yang terdiri dari Core Team sebagai koordinator PR atau juru bicara yang dibantu oleh issues management team di kementerian/lembaga terkait sesuai dengan isu yang ditangani.

Dalam konteks arus mudik dan vaksin palsu, menurut Maria, seharusnya pemerintah tidak hanya mempersiapkan strategi operasionalnya saja, lebih dari itu juga harus menyiapkan strategi komunikasi dan issues management-nya. Jika issues management disiapkan, hal itu bisa menjadi early warning system, sehingga krisis dapat dihindari atau dilokalisir dampaknya

Di Mana Peran Kominfo?

Merujuk Inpres No. 9 tahun 2015 tentang Pengelolaan Komunikasi Publik, Kominfo mendapatkan mandat dari presiden untuk mengkoordinasikan perencanaan, penyiapan, dan pelaksanaan komunikasi publik terkait kebijakan dan program pemerintah. Boleh dibilang Kominfo sebagai koordinator government public relations (GPR) mestinya mengambil peran sebagai Core Team dalam National Issues Management Structure. Tapi dalam krisis Brexit dan vaksin palsu Kominfo tak terlihat perannya. “Di Inpres itu sebenarnya arahnya seperti itu, tapi kita belum melihat kerja mereka,” katanya.

Juru Bicara Kemenkominfo Noor Izza mengakui, Kominfo memang memiliki tugas sebagai GPR. Tujuannya agar kementerian bisa bersama-sama menginformasikan program prioritas pemerintah. Hal ini tentu butuh kerjasama PR lintas kementerian. “GPR kita punya Tenaga Humas Pemerintah yang ditaruh di kementerian dan lembaga. Mereka yang ada di sana diharapkan bisa berkolaborasi dengan kementerian terkait,” katanya.

Ditanya terkait peran Kominfo sebagai koordinator GPR dalam membantu penanganan krisis vaksin palsu, Ia mengatakan, pengelolaan komunikasi selama ini dilakukan dengan pihak terkait dalam Satgas Penanggulangan Vaksin Palsu, yakni humas Mabes Polri dan BPOM. Adapun Kominfo secara formal tidak terlibat dalam Satgas. (Hanifudin Mahfuds)

BERITA TERKAIT
BACA JUGA
tentang penulis
komentar (0)
TERPOPULER

Event

CEO VIEW

Interview

Figure

BERITA TERKINI