Menurut Ketua Program Studi Sarjana Ilmu Komunikasi Universitas Garut Dr. Zikri Fachrul Nurhadi, diperlukan literasi etika komunikasi di ruang virtual guna menjaga keharmonisan komunikasi daring yang mengedepankan marwah nilai kesantunan.
JAKARTA, PRINDONESIA.CO - Transformasi digital membawa perubahan yang signifikan dalam lanskap interaksi sosial manusia. Namun, di balik kemudahan pertukaran arus informasi, tersimpan tantangan besar terkait nilai budaya dan norma etika kesantunan yang melekat sebagai ruh utama dalam komunikasi, khususnya di ruang digital.
Ketua Program Studi Sarjana Ilmu Komunikasi Universitas Garut Dr. Zikri Fachrul Nurhadi mengatakan, kesantunan digital tidak hanya menjadi isu moral, tetapi juga menjadi indikator kualitas ruang publik digital. Meskipun, beberapa platform media sosial kiwari sudah memiliki algoritma dan kebijakan yang mendukung kesantunan, tetapi menurutnya, tetap diperlukan upaya partisipatif dari para pengguna untuk menjaga kualitas komunikasi.
“Komunikasi yang sopan menciptakan suasana dialog yang sehat, meningkatkan keterlibatan pengguna secara positif, dan memperkuat kepercayaan sosialnya. Sebaliknya, komunikasi yang penuh kekerasan verbal dapat menurunkan kualitas demokrasi digital dan menghambat kebebasan berekspresi yang bertanggung jawab,” tulisnya dalam artikel opini yang terbit di Pikiran-rakyat.com, Kamis (22/5/2025).
Disinhibisi “Online”
Zikri melanjutkan, salah satu wujud permasalahan utama di ruang digital hari ini adalah penurunan standar kesantunan akibat efek disinhibisi online. Dalam konteks ini, terangnya, disinhibisi dapat dimaknai sebagai kondisi ketika individu merasa lebih bebas mengekspresikan dirinya secara negatif, karena komunikasi tidak dilakukan tatap muka dan dilakukan secara anonim.
Seakan mengamini pandangan Zikri, jurnal bertajuk Examining the Antecendents of Online Disinhibition (2017) mengungkap, keadaan anonimitas di dunia digital memang mampu menjadikan seseorang kehilangan kontrol sosial. Kondisi ini, katanya, dapat menimbulkan perilaku buruk seperti cyberbullying.
Penelitian lain yang dikutip Zikri juga menemukan bahwa pengguna media sosial di Indonesia cenderung menyampaikan komentar kasar karena merasa aman di balik layar. Selaras dengan itu, dalam konteks Indonesia hari ini jamak pula ditemukan pengguna akun media sosial yang hadir dengan akun palsu atau anonim, untuk melancarkan kritik, hinaan, hingga bahkan fitnah.
Zikri merujuk jurnal lain yang ia kutip berpandangan, regulasi yang minim serta lemahnya penindakan dari pihak platform media sosial terhadap pelanggar etika komunikasi telah menjadi kontributor utama dalam penurunan kualitas interaksi daring. “Dibutuhkan literasi digital khususnya mengenai etika komunikasi, untuk menjaga keharmonisan komunikasi daring yang mengedepankan marwah nilai kesantunan serupa dengan di kehidupan nyata,” sarannya. (eda)