JAKARTA, PRINDONESIA.CO - Ada banyak hal yang bisa dibeli dengan uang. Namun tak sedikit pula hal yang sulit didapat walau telah mengeluarkan uang. Salah satunya adalah reputasi. Percaya atau tidak, reputasi tidak linier dengan sumber daya finansial. Karena reputasi adalah rekam jejak, portofolio, kinerja unggul, yang dimiliki seseorang atau individu maupun organisasi/korporasi. Ketika itu semua dikomunikasikan, maka jadilah reputasi. Pun demikian, reputasi juga bergantung pada persepsi publik. Apa yang dipersepsikan publik bagus, itulah reputasi. Sebaliknya jika persepsi publik jelek, reputasi bakal terkoreksi.
Reputasi tak bisa dimainkan sembarangan. Ia membutuhkan ketekunan merawat dan kewaspadaan mengelolanya. Lantaran potensi ancaman reputasi tak selalu datang dari luar, melainkan bisa datang dari dalam. Seperti halnya krisis, misalnya. Umumnya, hampir 80 persen krisis justru datang dari dalam, bukan dari luar. Sebutlah misalnya kasus-kasus yang sedang ramai di muka publik belakangan ini menyangkut sebuah kementerian, terkait perilaku pegawainya yang suka pamer kemewahan (flexing).
Apa pun alasannya, pamer kemewahan adalah bibit bagi rusaknya reputasi seseorang atau organisasi. Harta seseorang tentu tidak perlu dipamerkan. Sekali dipamerkan, akan mengundang reaksi publik yang bisa berkepanjangan. Apalagi, diumbar di media sosial.
Publik tentu saja berhak marah dengan pameran harta sebagian pejabat publik maupun oleh keluarganya. Pantas juga publik gerah dan ingin tahu dari mana harta-harta kekayaan tidak wajar itu diperoleh. Sampai pada akhirnya, publik (baca: warganet) mengetahuinya, malapetaka reputasi meruak ke permukaan. Apa pun bantahan atau sanggahan dari sang pejabat, tak mempan di mata publik. Habislah sudah keteladanan. Susut pula kebersahajaan yang semestinya melekat pada perilaku pejabat publik.
Merujuk pada beberapa fenomena pamer harta di etalase publik belakangan ini, mungkinkan reputasi bukan lagi sebuah predikat penting bagi sebagian pejabat publik kita? Kira-kira, “masa bodohlah dengan reputasi”. Begitukah yang dipikirkan pejabat publik dan keluarganya yang terekspos melakukan flexing?
Saya pribadi beranggapan demikian. Urusan reputasi sadar atau tidak rasanya sudah jauh panggang dari api di benak mereka. Terpinggirkan oleh syahwat pribadi untuk pamer kemewahan yang –bisa jadi menurut mereka—mengerek derajat sosial di mata sejawat dan publik secara keseluruhan. Kalaulah pameran itu adalah jejeran prestasi dan kinerja yang teruji, publik tentunya mafhum dan bakal mendukungnya. Namun, pameran kemewahan yang dihadirkan, tentu telah melukai rasa keadilan publik. Menggores pula empati di tengah situasi sosial di negeri ini yang sejatinya tidak sedang baik-baik saja.
Dianggap Sebagai Kebenaran
Reputasi tentu bukanlah benda mati, melainkan dinamis. Sungguh pun demikian, reputasi harus dirawat dengan baik agar menghasilkan konsistensi dalam kurun waktu yang panjang. Di sinilah tantangan setiap pemimpin, pejabat publik, dan tokoh masyarakat, dalam mengelola reputasi. Flexing adalah pintu awal untuk merusak reputasi seseorang. Alarm pengingatnya adalah sistem di organisasi yang berjalan dengan baik plus karakter kuat individu sang pejabat yang respek pada masyarakat. Jika keduanya lemah, perangai flexing akan menggurita di mana-mana. Celakanya, perilaku flexing ini juga merasuk di tengah masyarakat. Disadari atau tidak, di lingkungan sosial terkecil sekalipun, dalam kelompok-kelompok sosial masyarakat, flexing mudah ditemui.
Karena mereka bukan pejabat publik, tentu tak pernah memikirkan reputasinya bakal rusak karena memamerkan harta dan kemewahan secara langsung maupun melalui etalase media sosial. Begitulah di negeri yang masih menganut model patronase seperti Indonesia. Setiap perilaku pejabat dan elit politik, senantiasa akan terefleksi di tengah masyarakat. Tindakan mereka ditiru karena dianggap adalah kebenaran. Diyakini sebagai sebuah kewajaran.
Ketika kebenaran dan kewajaran telah bermutasi menjadi kekonyolan dan keanehan, tibalah saatnya semua kemewahan itu runtuh oleh hancurnya reputasi yang dimiliki selama ini. Alarm tanda bahaya telah berdering. Respek dan empati pejabat publik yang akan mengerem tindakan dan perilaku yang berpotensi menghancurkan reputasi. Jika keduanya hilang, kemurkaan publik akan menghancurkan semua aset-aset sosial yang dimiliki. Tabik! (Asmono Wikan)