Benarkah Pandemi Mengancam Resiliensi Komunikasi Publik?
PRINDONESIA.CO | Rabu, 16/03/2022 | 1.325
Benarkah Pandemi Mengancam Resiliensi Komunikasi Publik?
Di tengah kondisi pandemi COVID-19, hendaknya para pembuat kebijakan mampu menahan diri untuk tidak menambah beban masyarakat dengan melontarkan isu-isu yang dapat memperkeruh suasana.
Dok.Istimewa

BANDUNG, PRINDONESIA.CO – Kondisi ini menimbulkan keprihatinan Ketua Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI AA LaNyalla Mahmud Mattalitti. Menurutnya saat membuka Seminar Nasional Ikatan Doktor Ilmu Komunikasi (IDIK) UNPAD, Selasa (15/3/2022), jika kegaduhan ini terus dibiarkan akan berdampak pada kondisi ketahanan atau resiliensi masyarakat. Perbedaan informasi dan kebijakan antarkementerian dan lembaga menjadi bukti kegagalan pemerintah dalam membangun pola komunikasi melalui pendekatan resiliensi.

Terlebih semenjak pandemi COVID-19, resiliensi masyarakat Indonesia sudah rentan. Untuk itu, LaNyalla berharap agar para pembuat kebijakan mampu menahan diri untuk tidak menambah beban masyarakat dengan melontarkan isu-isu yang dapat memperkeruh suasana. Ia menduga hal ini bisa terjadi karena beberapa hal mulai dari ketidaksiapan para pemegang kebijakan dalam menghadapi pandemi ini, hingga memang pola komunikasi yang tidak disiapkan dengan baik di era pandemi.

Kondisi ini makin diperparah denga kehadiran para pendengung di media sosial atau buzzer, kian memperparah kegaduhan yang terjadi di ruang publik. Untuk itu, melalui semangat resiliensi komunikasi, LaNyalla mengajak masyarakat untuk bangkit, mengedepankan rasa empati, simpati, serta menciptakan harapan yang realistis. Tentunya, dengan roadmap yang jelas, bukan malah menimbulkan kebingungan.

Ketahanan Informasi

Guru Besar Ilmu Komunikasi UNPAD Engkus Kusworo memandang bahwa tekanan pandemi COVID-19 justru memberikan pelajaran berharga bagi masyarakat untuk semakin resilien terhadap terpaan informasi. Dengan adanya komunikasi yang intens, masyarakat menjadi kian cerdas, bahkan teruji memiliki ketahanan informasi tinggi.

Pada dasarnya, lanjut Engkus, resiliensi terbentuk dari tujuh kemampuan yang berbeda dan hampir tidak ada satupun individu yang secara keseluruhan memiliki kemampuan tersebut dengan baik. Antara lain, regulasi emosi, pengendalian impuls, optimisme, empati, analisis penyebab masalah, efikasi diri, dan peningkatan aspek positif.

Lebih lanjut Engkus menjabarkan setidaknya terdapat tiga tipologi/jenis persona selama dua tahun masa pandemi COVID-19. Pertama, persona paranoid. Tipe ini lebih banyak terdampak COVID-19, mulai dari varian Delta hingga Omicron, sehingga dominan menarik diri dari lingkungannya. Tipe persona ini masuk dalam kategori resiliensi rendah.

Kedua, persona optimistic. Selama dua tahun masa pandemi, hanya beberapa orang saja yang teridentifikasi COVID-19, dengan proses penyembuhan yang lebih cepat. Gaya komunikasi yang digunakan cenderung lebih terbuka bahkan humoris, sehingga tipe ini masuk dalam resiliensi tinggi.

Terakhir, persona fatalistic. Meskipun tipe ini paling sedikit jumlah orang yang teridentifikasi COVID-19, tetapi paling sedikit pula pengguna vaksin. “Mereka cenderung apatis terhadap informasi yang datang dari pemerintah, termasuk di luar masalah pandemi, sehingga masuk resiliensi moderat,” pungkasnya. (ais) 

BERITA TERKAIT
BACA JUGA
tentang penulis
komentar (0)
TERPOPULER

Event

CEO VIEW

Interview

Figure

BERITA TERKINI