Society 5.0 Masih Sekadar Jargon
PRINDONESIA.CO | Senin, 15/04/2019 | 2.300
Society 5.0 Masih Sekadar Jargon
Key performance indicator yang digunakan untuk mengukur performa kerja PR selama ini masih sederhana atau mendasar.
Dok. PR INDONESIA/ Aisyah

JAKARTA, PRINDONESIA.CO - Seperti yang disampaikan founder Drone Emprit Company Ismail Fahmi saat ditemui PR INDONESIA usai menjadi pembicara dalam  gelar wicara yang diselenggarakan PERHUMASRI di Jakarta, Sabtu (23/2/2019). Salah satu bukti hadirnya era Society 5.0 dalam kehidupan sehari-hari adalah lahirnya teknologi jam tangan pintar/smartwatch. Itulah salah satu  bentuk personalisasi yang bersandar pada kebiasaaan 4.0. 

“Personalisasi itu sudah lama ada, fokusnya menggunakan wearable technology. Seperti kebiasaan bangun tidur, aktifitas olahraga, kemudian teknologi yang akan menyesuaikan dan mengingatkan kita,” ujar pria yang pagi itu mengisi acara bertema “Big Data: Apa dan Bagaimana Rumah Sakit  Memanfaatkannya untuk Kehumasan dan Pemasaran”. Contoh sederhana lainnya yang merupakan bentuk personalisasi adalah adware atau iklan yang selalu muncul/pop-up setiap kali kita mengakses sebuah situs atau perangkat lunak  tertentu.

Ismail tak memungkiri jika era 4.0 atau wacana 5.0 yang selalu didengungkan pemerintah masih sebatas jargon. Belum mampu diresapi apalagi diaplikasikan dalam kehidupan secara utuh, terutama bagi para praktisi public relations (PR). Ia justru menangkap kesan PR umumnya gagap dalam merespons perubahan dunia yang sedang bergulir sangat cepat ini.

Pernyataan Ismail bukan tanpa alasan. Salah satu faktor yang melatarbelakangi, menurut pria yang kerap mendampingi kerja PR dari berbagai industri dan korporasi sejak 2012 ini, adalah key  performance indicator yang digunakan untuk mengukur performa kerja PR selama ini masih sederhana atau dasar. Apalagi sekarang semua orang bisa menjadi content creator dan content producer,” katanya. Melalui big data, PR bisa mengukur engagement yang dibangun mencapai target, atau informasinya hanya berputar di kalangan tertentu. “Pola kerja semacam ini harus segera diubah,” imbuhnya.

Tolok Ukur

Ismail menilai PR terlalu sibuk berkutat dengan hoaks dan isu-isu yang berpotensi mencederai citra perusahaan. Mereka lupa cara memenangkan internet untuk keberlangsungan bisnis/organisasi ke depan. Oleh karena itu untuk menjadi lebih lincah, ia mendorong PR agar meningkatkan kompetensi menguasai teknik pencarian informasi dan data  analitik menggunakan tools apa pun. Mulailah dari tools sederhana seperti Google Trends dan memaksimalkan  keberadaan trending topic di Twitter.“PR hanya perlu memahami tren apa yang sedang berkembang dan meningkatkan awareness untuk  mengumpulkan data  sebanyak-banyaknya,” ujarnya.

Terakhir dan tak kalah penting, PR harus pandai mencari tolok ukur (benchmark) dari organisasi lain sebagai bahan  perbandingan. Harapannya, mereka dapat mengadopsi hal positif untuk mencapai sasaran yang diinginkan serta  menanggulangi krisis yang sedang dihadapi. (ais)

BERITA TERKAIT
BACA JUGA
tentang penulis
komentar (0)
TERPOPULER

Event

CEO VIEW

Interview

Figure

BERITA TERKINI