Praktisi PR yang hebat tidak hanya andal menyampaikan pesan, tetapi juga mampu memastikan tata kelola komunikasi selaras dengan nilai organisasi dan kebutuhan publik.
JAKARTA, PRINDONESIA.CO – Para peserta PR INDONESIA Awards (PRIA) 2026 kategori Insan PR dalam penjurian hari kedua, Kamis (18/12/2025), tampaknya sepakat bahwa lanskap komunikasi yang semakin dinamis dan kompleks, telah menuntut public relations (PR)/humas untuk bisa memastikan tata kelola komunikasi berjalan selaras dengan nilai organisasi dan harapan publik.
Hal tersebut tergambar salah satunya dari pandangan Corporate Secretary Meidina Pertamina Foundation Arimbi Rushartami. Dalam konteks kekinian, katanya, PR/humas tidak dapat dipisahkan dari prinsip kepatuhan (compliance) dan tata kelola, sebagaimana dalam lima tahun terakhir dirinya terlibat langsung dalam penyusunan pengaturan tata laksana PR hingga pedoman pengelolaan komunikasi organisasi.
Dalam praktiknya, lanjut Meidina, dirinya mengadopsi kerangka ROPE (research, objective, programme, evaluation) sebagai fondasi perancangan program PR. “Pendekatan strategis ini membuahkan hasil nyata berupa meningkatnya engagement rate media sosial perusahaan sebesar 3,01 persen disertai capaian pemerintah yang signifikan yaitu 438 berita positif, 128 netral dan tingkat sentimen positif mencapai 99 persen,” ujarnya.
Pemaparan ini pun memantik pertanyaan dari juri Sufintri Rahayu, tentang metode riset komunikasi yang digunakan. Menanggapi pertanyaan perempuan yang menjabat Director Corporate Affairs & Sustainability Nestle Indonesia itu, Meidina menjelaskan, riset dilakukan melalui analisis SWOT (strength, weakness, opportunity, threat), didukung dengan survei kepada audiens untuk memastikan pesan komunikasi diterima dengan baik.
Berakar dari “Kebutuhan” Audiens
Sementara itu Analis Pratama Komunikasi Publik dan Hubungan Masyarakat BPJS Kesehatan Ranggi Larissa Izzati, menyoroti pentingnya pemahaman akan keinginan dan kebutuhan masyarakat sebagai gerbang utama dalam menyusun strategi PR/humas hari ini. Menurutnya, penguatan internalisasi menjadi kunci agar pesan yang disampaikan melalui bahasa membumi dapat dicerna dan relevan dengan keseharian audiens. “Ini juga memastikan tidak adanya resistensi atau perang narasi di ruang publik,” ucapnya di hadapan dewan juri.
Prinsip tersebut, lanjut Ranggi, diterjemahkan BPJS Kesehatan melalui beragam aktivitas komunikasi humanis terutama di media sosial. Sepanjang periode Januari hingga juli 2025, katanya, BPJS Kesehatan mencatatkan 52.121 berita pada Jamkesnews, menerbitkan 57 siaran pers, dan memproduksi 11 podcast. “Di kanal media sosial, konten Youtube ditonton 24 juta penonton, TikTok mencapai 71 juta penonton, serta terdapat 4.241 unggahan konten di Instagram,” jelasnya.
Kendati demikian, Ranggi mengakui bahwa keberagaman latar belakang masyarakat menjadi tantangan tersendiri. Oleh karena itu, komunikasi perlu dilakukan secara empatik dan berulang. Penjelasan tersebut kemudian disambut oleh CEO Prominent PR Ika Sastrosoebroto, yang menimbang kesulitan dalam menjangkau seluruh lapisan masyarakat Indonesia. Dalam hal ini, kata Ika, seorang praktisi PR tidak boleh terjebak pada asumsi bahwa audiens sudah memahami pesan. “Kita tidak bisa menganggap masyarakat langsung paham hanya dengan satu kali penyampaian, maka repetisi menjadi bagian dari edukasi yang perlu dilakukan berkelanjutan,” pesannya. (EDA)