Fellow Public Relations Society of America (PRSA) and Chair PRSA Board of Ethics and Professional Standards (BEPS) Linda Staley membagikan lima langkah agar praktisi PR tetap etis di tengah maraknya penggunaan AI. Apa saja langkahnya?
JAKARTA, PRINDONESIA.CO – Kecerdasan buatan (artificial intelligence/AI) bisa dibilang sudah menjadi bagian dari keseharian kerja banyak orang, termasuk para praktisi public relations (PR). Biasanya, mereka menggunakan AI untuk membantu menyusun siaran pers, menganalisis data, hingga mencari bentuk strategi komunikasi. Meski sangat memudahkan pekerjaan, setiap orang yang menggunakan AI untuk urusan profesional saat ini berhadapan dengan persoalan etika.
Dalam konteks ini, menurut Fellow Public Relations Society of America (PRSA) and Chair PRSA Board of Ethics and Professional Standards (BEPS) Linda Staley, praktisi PR sejatinya dapat berpedoman kepada kode etik PRSA yang didasari nilai-nilai seperti advokasi, kejujuran, keahlian, independensi, loyalitas dan keadilan. Menurutnya, nilai-nilai tersebut dapat menjadi kompas dalam menavigasi penggunaan AI.
Selaras dengan itu, Linda mengatakan, terdapat lima langkah praktis yang bisa diterapkan praktisi PR untuk memastikan etika dalam menggunakan AI. Melansir PR Daily, Senin (29/9/2025), berikut uraiannya.
1. Lakukan Cek Fakta Secara Menyeluruh
Linda menegaskan, praktisi PR harus bisa memandang hasil kerja AI sebagai titik awal, bukan sebuah produk akhir. Pemahaman tersebut, katanya, menuntut setiap pengguna AI untuk memastikan semua informasi diverifikasi sebelum dipublikasi agar tetap akurat dan dapat dipercaya.
2. Pertahankan Pengawasan Manusia
Bagi Linda, kapasitas AI hanya sebatas memberi saran. Sedangkan keputusan akhir tetap ada di tangan manusia. “Praktisi PR bertanggung jawab memastikan pesan yang disampaikan sesuai konteks dan nilai organisasi,” katanya.
3. Waspadai Bias
Mengingat saat ini ada banyak platfom AI yang dapat digunakan, Linda menekankan untuk senantiasa makukan pengecekan secara berkala, agar hasil yang disajikan mesin tidak membentuk pola diskriminatif atau informasi yang tidak adil bagi kelompok tertentu.
4. Lindungi Data Sensitif
Linda juga mengingatkan praktisi PR untuk terbiasa menggunakan sistem yang aman dan tertutup agar kerahasiaan data tetap terjaga. “Jangan pernah memasukkan data rahasia organisasi ke platform AI secara terbuka,” ujarnya.
5. Bersikap Transparan dan Terus Belajar
Jika AI digunakan secara signifikan dalam proses komunikasi, ungkapkan dengan jelas kepada tim. Di samping itu, jangan lupa untuk terus membekali diri dengan pengetahuan tentang kekuatan sekaligus batasan AI.
Dengan menerapkan kelima langkah di atas, praktisi PR diharapkan dapat menyeimbangkan antara inovasi teknologi dan integritas nilai etik yang menjadi fondasi bagi kepercayaan publik. Semoga informasi ini bermanfaat, ya! (EDA)