5 Kebiasaan Lama yang Wajib Ditinggalkan Praktisi PR di Era Sekarang
PRINDONESIA.CO | Selasa, 16/09/2025
5 Kebiasaan Lama yang Wajib Ditinggalkan Praktisi PR di Era Sekarang
Ilustrasi praktisi PR
doc/alvarez

JAKARTA, PRINDONESIA.CO – Perkembangan dan dinamika dunia public relations (PR) telah membuat sejumlah praktik kerja kehilangan relevansinya. Pemahaman akan hal ini begitu penting, karena beberapa di antara praktik tersebut dapat merusak reputasi dan membuang anggaran jika terus diimplementasikan.

Berdasarkan pandangan sejumlah praktisi komunikasi dunia, berikut lima kebiasaan lama yang sebaiknya ditinggalkan oleh praktisi PR. Dilansir dari PR Daily, Senin (18/8/2025), berikut uraiannya.  

1. Mengandalkan “Impresi” Sebagai Metrik Pengukuran Utama

Menurut Managing Partner Acumen Strategies Matt Burns, impresi besar sering disajikan dengan grafik menarik agar terlihat meyankinkan pada laporan. Namun, hal itu sering kali tidak mencerminkan perubahan persepsi publik atau dampak signifikan. “CEO bisa terkecoh dengan angka besar, tetapi yang mereka butuhkan adalah bukti bahwa opini berubah dan terdapat tindakan yang muncul,” ujarnya.

2. Menggunakan Taktik “Spray and Pray”

Pendiri Austley Leah M. Dergachev menegaskan, mengirim pitch atau siaran pers ke sebanyak mungkin jurnalis sudah tidak lagi relevan jika tujuannya adalah meningkatkan peluang liputan. Sebab, media hanya akan merasa dibombardir, sehingga hubungan jurnalis dengan praktisi PR menjadi dingin, dan pitch akan mudah terbaikan karena dianggap sebagai “spam”. Adapun yang perlu dilakukan, menurut Leah, adalah pendekatan selektif dan personal.

3. Tidak Memadukan Data Kuantitatif dengan Analisis Kualitatif

Director of Digital Communications Enel North America Alvaro Bendrell mengingatkan, laporan PR bersifat kuantitatif perlu disertai dengan analisis kualitatif untuk memudahkan audiens memahami dampak yang terukur. 

4. Hubungan Singkat Jurnalis

Menurut Co-founder Willow PR Allison Bowers, praktik PR adalah soal membangun hubungan yang berkelanjutan, bukan sekadar mengajak jurnalis makan siang lalu berharap liputan akan menyusul. Dalam konteks ini, Allison menekankan penting bagi praktisi PR untuk menyampaikan ide-ide yang kuat, relevan, dan tepat waktu agar jurnalis merasa layak memberitakannya. “Pesona personal memang penting, tetapi substansi tidak boleh ditinggalkan,” tegasnya.

5. Hanya Terobsesi Satu “Headline” Nasional

Public Relations Manager Deutscher Olympischer Sportbund Felix Wolf berpesan untuk tidak menganggap satu berita utama di media nasional sebagai tolok ukur keberhasilan komunikasi. Menurut Felix, publikasi yang konsisten di berbagai media justru lebih berharga daripada satu headline besar tanpa tindak lanjut. Dalam hal ini, ia menggarisbawahi pentingnya membangun konsistensi dan kontinuitas cerita oleh praktisi PR.

Dengan meninggalkan beberapa kebiasaan lama di atas, praktisi PR diharapkan dapat meningkatkan kredibilitas, memperkuat hubungan dengan media, dan menyampaikan pesan yang benar-benar berdampak. (EDA)

BERITA TERKAIT
BACA JUGA
tentang penulis
komentar (0)
TERPOPULER

Event

CEO VIEW

Interview

Figure

BERITA TERKINI