Menyoal Peran Jubir Presiden dalam Demo Akhir Agustus 2025
PRINDONESIA.CO | Rabu, 10/09/2025
Menyoal Peran Jubir Presiden dalam Demo Akhir Agustus 2025
Salah satu juru bicara Presiden Prabowo
doc/antara

JAKARTA, PRINDONESIA.CO – Beberapa waktu lalu, mantan Duta Besar Indonesia untuk Amerika Serikat Dino Patti Djalal menulis satu cuitan yang agaknya mewakili pertanyaan para praktisi maupun pemerhati komunikasi di Indonesia. Dalam unggahannya di akun X, Sabtu (6/9/2025), Dino merujuk pada demonstrasi yang pecah akhir Agustus lalu, mempertanyakan mengapa pemerintah absen memunculkan juru bicara (jubir) untuk menjelaskan situasi kepada dunia internasional.

Jawaban atas pertanyaan tersebut menjadi penting karena Presiden Prabowo Subianto diketahui memiliki banyak jubir resmi. Di antaranya Philips Vermonte, Adita Irawati, Ujang Komaruddin, Prita Laura, Dedek Prayudi, dan Hariqo Wibawa Satria. Setiap dari mereka ditugaskan sesuai dengan keahlian masing-masing di bidang politik, hukum, ekonomi, dan lainnya.

Selain itu, Indonesia sendiri pernah memiliki jubir-jubir yang tampil terdepan dalam menjelaskan situasi, kondisi, dan sikap pemerintah di tengah situasi krisis. Era Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur), misalnya, Wimar Witoelar dan Adhie Massardi adalah sosok yang kerap tampil menjelaskan sikap presiden ketika turbulensi politik terjadi di tengah transisi demokrasi.

Profesionalisasi komunikasi Istana bahkan sempat mengakar pada zaman Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Andi Mallarangeng, Julian Aldrin Pasha, dan Dino Patti Djalal sendiri adalah nama-nama yang sering muncul ketika krisis ekonomi global 2008 mengguncang. Sebagaimana dalam cuitan Dino, jubir pada masa itu menjadi jembatan pesan yang memastikan publik dan pasar internasional memahami kondisi Indonesia secara proporsional.

Suara Tunggal di Tengah Krisis

Pakar komunikasi Universitas Indonesia Ibnu Hamad dalam konteks krisis karena COVID-19 sempat menegaskan pentingnya peran jubir. Menurutnya, pada saat krisis pemerintah perlu memiliki juru bicara tunggal guna mengurangi potensi pernyataan yang beragam dan bertentangan. “Ini penting agar penyampaian obyektivitas dalam framing positif bisa terjaga, sekaligus menunjukkan empati kepada publik,” ujarnya dikutip dari laman kpi.go.id, Selasa (14/4/2020).

Sementara itu, founder PR Politik Indonesia Heryadi Silvianto dalam artikelnya di DetikNews Senin (28/4/2025), pernah menjelaskan bahwa komunikasi pemerintah bukan sekadar menyampaikan informasi, tetapi membentuk persepsi, membangun kepercayaan, dan menjaga kohesi sosial. Dalam konteks ini, tulisnya, posisi jubir pemerintah memegang peran yang sangat strategis. “Ia adalah wajah, suara, dan penjelas utama atas berbagai kebijakan publik,” katanya.

Sebagaimana Dino dengan cuitannya dalam konteks demo akhir Agustus lalu, Heryadi juga sempat menyorot absennya peran jubir kepresidenan dalam banyak isu strategis. Berkaca dari beberapa kasus, Heryadi mengatakan, narasi kebijakan pemerintah justru kerap disampaikan oleh orang-orang berbeda dan terkadang tak selaras. “Dalam kasus rencana kenaikan tarif PPN menjadi 12% dan tata niaga Gas Elpiji 3 kg, misalnya, publik mendengar pernyataan dari Wakil Ketua DPR Sufmi Dasco Ahmad, bukan dari Kemenkeu atau Menteri ESDM, yang menyatakan bahwa kebijakan tersebut dievaluasi ulang,” ucapnya.

Dalam banyak praktik pemerintahan yang efektif, Heryadi menandaskan, fungsi jubir tidak hanya bergantung pada individu, tetapi pada sistem komunikasi yang terorganisasi, terkoordinasi, dan berbasis data. “Jika ingin menjawab tantangan komunikasi di era digital dan polarisasi sosial, posisi jubir tidak bisa lagi ditangani secara ad hoc atau hanya sebagai pelengkap protokol,” tutupnya. (lth) 

BERITA TERKAIT
BACA JUGA
tentang penulis
komentar (0)
TERPOPULER

Event

CEO VIEW

Interview

Figure

BERITA TERKINI