Kasus Raja Ampat menjadi pengingat pentingnya menjaga harmonisasi komunikasi sebagai senjata utama dalam menginformasikan kebijakan strategis dan mempertahankan citra negara.
JAKARTA, PRINDONESIA.CO – Polemik tambang nikel di Raja Ampat kembali mencuat, setelah sejumlah perusahaan terbukti melanggar prosedur dan merusak sebagian wilayah pulau kecil di kawasan konservasi. Kasus tersebut pun segera memantik kritik yang menyoroti lemahnya pengawasan pemerintah. Salah satunya datang dari pakar komunikasi strategis Universitas Gadjah Mada I Gusti Ngurah Putra.
Dalam Forum Diskusi Komunikasi (Diskoma) #22 bertajuk “Komunikasi Krisis: Kasus Tambang Nikel Raja Ampat, Putra menegaskan, pendekatan komunikasi pemerintah yang lemah berpeluang meruntuhkan reputasi nasional secara menyeluruh. Selain itu, katanya, tata kelola komunikasi yang tidak informatif dan kurang terstruktur dapat membuat kebijakan strategis gagal membentuk citra positif dan melemahkan akuntabilitas pemerintah.
Dalam konteks krisis yang melibatkan Raja Ampat, lanjut Putra, pemerintah terlihat tidak konsisten apalagi tegas.“Kalau pemerintah tidak tegas, citra kita bisa runtuh. Komunikasi krisis bukan sekadar strategi publikasi, tapi soal arah politik pembangunan itu sendiri,” tegasnya dikutip dari Wartaekonomi.co.id, Kamis (14/8/2025).
Sementara itu Staf Khusus Menteri Pariwisata RI bidang Komunikasi dan Media Apni Jaya Putra dalam kesempatan yang sama menjelaskan, pemerintah yang dalam hal ini diwakili Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Kemenparekraf) mengklasifikasikan kasus tersebut sebagai medium crisis berdasarkan pendekatan Crisis Detection Analysis.
Menurut Apni, penilaian tersebut mempertimbangkan kerusakan ekosistem, konflik perizinan, reaksi masyarakat adat, dan sorotan media internasional. “Masalah ini bukan cuma tentang lingkungan. Ini tentang reputasi Indonesia sebagai tujuan wisata, tentang bagaimana dunia melihat kita: apakah kita menjaga surga terakhir ini, atau justru mengorbankannya demi investasi jangka pendek,” katanya.
Implementasi Prinsip “Acknowledge, Explain, dan Act”
Dalam implementasi strategi komunikasi krisis, lanjut Apni, Kemenparekraf telah menerapkan prinsip acknowledge, explain, dan act, alias mengakui masalah secara terbuka, menjelaskan posisi dan tanggung jawab tiap pihak, serta mengajak publik berpartisipasi dalam solusi. Tidak luput, katanya, Kemenparekraf juga menyisipkan unsur narasi yang disampaikan dengan empati, konsistensi, dan berbasis data.
Namun, jika ditinjau lewat perspektif komunikasi krisis, kasus tambang nikel Raja Ampat merupakan krisis yang kompleks karena melibatkan isu lingkungan, tata kelola, dan reputasi nasional. Pendekatan komunikasi krisis yang ideal seharusnya tidak hanya mengakui dan menjelaskan sebagaimana disampaikan Apni. Melainkan juga menyisipkan empati, konsistensi, serta strategi pasca-krisis yang matang.
Dalam konteks ini, mengutip artikel Pentingnya Prinsip Komunikasi Krisis CERC karya Venisa Yunita Sari (2021), implementasi pendekatan Crisis and Emergency Risk Communication (CERC) dapat menjadi landasan, karena menekankan lima prinsip utama meliputi kredibel, mengekspresikan empati, mendorong aksi, menunjukkan rasa hormat, dan transparan.
Selain itu, mengutip Change Management Insight, model komunikasi krisis ala Coombs juga perlu untuk diintegrasikan, karena dapat mencegah inkonsistensi dan keterlambatan komunikasi yang bisa menurunkan kepercayaan publik. (EDA)