Pernyataan kontroversi Menteri Agraria dan Tata Ruang (ATR)/Kepala Badan Pertanahan Nasional (BPN) RI Nusron Wahid kembali menegaskan pentingnya implementasi komunikasi yang santun, empatik dan humanis.
JAKARTA, PRINDONESIA.CO – Pernyataan Menteri Agraria dan Tata Ruang (ATR)/Kepala Badan Pertanahan Nasional (BPN) RI Nusron Wahid terkait kebijakan potensi pengambilalihan tanah yang tidak dimanfaatkan selama dua tahun oleh negara, baru-baru ini menuai sorotan publik setelah viral di jagat media sosial.
Dalam acara Ikatan Surveyor Indonesia di Jakarta, Rabu (6/8/2025) Nusron menyebut bahwa semua tanah sejatinya dimiliki oleh negara. Dalam hal ini, katanya, masyarakat hanya diberi hak pakai bukan kepemilikan mutlak. “Tanah itu tidak ada yang memiliki, yang memiliki tanah itu negara. Tidak ada istilah tanah kalau belum ada SHM (Sertifikat Hak Milik) itu dia memiliki, ini tanahnya mbah-mbah saya, leluhur saya. Memang leluhurmu bisa membuat tanah? Tidak bisa,” ujarnya.
Ucapan kontroversial tersebut langsung mendapat kritik tajam dari berbagai lapisan masyarakat. Di media sosial, salah satu cuitan dari akun Thread Instagram @rudikesuma01, menilai komunikasi pejabat publik Indonesia buruk. “Komunikasi pejabat Indonesia jauh dari nalar dan mengundang emosi rakyat,” tulisnya pada Rabu (6/8/2025).
Menyusul gelombang reaksi publik, selang beberapa hari tepatnya pada Senin (11/8/2025), Nusron menyampaikan permintaan maaf kepada masyarakat Indonesia melalui klarifikasi yang diunggah akun Instagram Kementerian ATR/BPN. Merasa tidak cukup hanya di media sosial, keesokan harinya ia menggelar konferensi pers di Kantor Kementerian ATR/BPN untuk meluruskan maksud pernyataannya.
Nusron menjelaskan, ucapan tersebut awalnya hanya bercanda atau guyon yang tidak pantas disampaikan oleh pejabat publik. Tidak luput, ia menegaskan akan memperbaiki komunikasi dan penggunaan kata saat memberikan penjelasan apapun yang berkaitan dengan kebijakan pemerintah kepada publik.
Pentingnya Kesantunan Bahasa dan Empati
Dalam konteks komunikasi publik, pernyataan Nusron adalah sebuah blunder. Sebagaimana sempat disampaikan praktisi government public relations (GPR) sekaligus founder Govcom Ani Natalia Pinem, dalam situasi semacam itu pejabat sejatinya harus mengedepankan komunikasi berbasis empati. “Tunjukkan keberpihakkan kepada rakyat kecil dengan pesan yang humanis,” ujarnya kepada PR INDONESIA, Kamis (13/3/2025).
Senada, temuan dalam jurnal Analisis Kesantunan Berbahasa Tokoh Politik Indonesia Dalam Berkomunikasi di Jejaring Sosial Digital (2025) karya Parulian dkk., menyebutkan, para tokoh publik seharusnya menggunakan bahasa yang sopan, dan empatik dalam berkomunikasi dengan masyarakat. Penggunaan bahasa sarkastik atau merendahkan hanya akan memicu antipati dan semakin menggerus kepercayaan publik. “Etika berkomunikasi menjadi tantangan besar yang masih perlu dibenahi bagi para aktor politik Tanah Air,” simpulnya. (EDA)