Pedoman komunikasi krisis ini akan menjadi acuan nasional agar pemerintah dan lembaga lainnya dapat merespons krisis secara efektif, proporsional demi membangun kepercayaan publik di era digital.
BANDUNG, PRINDONESIA.CO – Kementerian Komunikasi dan Digital (Komdigi) Republik Indonesia menggelar Forum Pembahasan Draft Pedoman Komunikasi Krisis di Hotel El Royale, Bandung, Kamis (6/11/2025). Kegiatan ini menjadi wadah strategispemerintah pusat, daerah, akademisi, dan pemangku kepentingan komunikasi publik untuk memperkuat sistem penanganan krisis informasi nasional yang cepat, transparan sekaligusadaptif terhadap perkembangan era digital.
Dijelaskan oleh Pelaksana harian (Plh) Pelaksana tugas (Plt) Direktur Komunikasi Publik Direktorat Jenderal Komunikasi Publik dan Media Komdigi Hastuti Wulanningrum, pedoman tersebut disusun sebagai acuan kebijakan nasional kementerian, lembaga, dan pemerintah daerah dalam menghadapi potensi krisis secara efektif dan proporsional. “Ke depan, kami ingin memastikan bahwa setiap krisis bukan hanya bisa kita kendalikan, tetapi juga menjadi peluang untuk memperkuat kepercayaan publik demi menjaga stabilitas bangsa dan keberlanjutan pembangunan,” ujarnya dikutip dari RRI.co.id, Kamis (6/11/2025).
Hastuti menegaskan, tidak semua krisis memiliki bobot dan dampak yang sama. Karena itu, pedoman ini dirancang agar respons pemerintah lebih terukur tanpa menimbulkan overreaction maupun pemborosan sumber daya komunikasi. Ia pun menjelaskan, tata kelola komunikasi krisis nasional yang lebih kokoh dan terintegrasi mencakup tiga fase utama yaitu prakrisis, saat krisis, dan pascakrisis. “Prinsip transparansi, kecepatan, empati, dan konsistensi pesan adalah pilar utamanya,” tambahnya.
Kebutuhan Mendesak
Dalam kesempatan yang sama, Staf Ahli Menteri Bidang Komunikasi dan Media Massa Komdigi Molly Prabawaty menyebut, penyusunan pedoman komunikasi krisis ini merupakankebutuhan mendesak di era digital. Berdasarkan data Komdigi, katanya, sepanjang tahun 2024 tercatat 1.923 konten hoaks yang beredar di dunia maya. Angka tersebut mencakup penipuan sebanyak 890 konten, politik 237 konten, dan pemerintahan 214 konten. “Kita juga menghadapi tantangan baru berupa deepfake atau konten AI generator yang meningkat sehingga 550 persen dalam lima tahun terakhir,” lanjutnya.
Untuk itu, Molly menekankan pentingnya prinsip “Golden Three Hours” yaitu periode satu hingga tiga jam pertama setelah krisis terjadi sebagai waktu krusial bagi pemerintah untuk memberikan tanggapan pertama yang cepat dan akurat. Namun, tegasnya, selain kecepatan, empati dan konsistensi pesan juga menjadi kunci yang perlu diperhatikan. “Komunikasi krisis bukan hanya soal data, tetapi juga menunjukkan keberpihakan dan kepedulian pemerintah kepada masyarakat terdampak,” ujarnya.
Dosen Ilmu Komunikasi Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya Dorien Kartika Wangi menilai, draf pedoman Komdigi telah memiliki arah yang kuat dan sistematis dengan mengadopsi prinsip internasional seperti Golden Three Hours, Single Source of Truth, dan Human-Centered Communication.
Meski demikian, Dorien punya sejumlah catatan penyempurnaan, khususnya pada aspek teori, operasional, dan visualisasi, termasuk penambahan indikator implementasi yang rinci, protokol komunikasi digital, AI-based monitoring tools, dan sentiment analysis dashboard sebagai sistem peringatan dini. “Pedoman ini sudah sangat baik, tinggal diperkaya dengan studi kasus, indikator kuantitatif, serta roadmapimplementasi nasional agar bisa menjadi panduan praktis, bukan hanya konseptual,” pungkasnya. (EDA)