Ketua Tim Pengabdian Masyarakat (Pengmas) sekaligus dosen Prodi Farmasi UMPR Husna Fauzia berpandangan, komunikasi yang baik antara tenaga farmasi dan pasien memainkan peranan krusial dalam menunjang keberhasilan obat.
PALANGKARAYA, PRINDONESIA.CO – Tim akademisi dari Program Studi Farmasi Universitas Muhammadiyah Palangkaraya (UMPR) menggelar pelatihan komunikasi yang efektif dan empatik bagi tenaga farmasi di Rumah Sakit Islam (RSI) PKU Muhammadiyah Palangka Raya, Sabtu (2/8/2025).
Ketua Tim Pengabdian Masyarakat (Pengmas) sekaligus dosen Prodi Farmasi UMPR Husna Fauzia mengatakan, pelatihan tersebut merupakan salah satu langkah peningkatan kemampuan komunikasi tenaga farmasi sebagai garis depan pelayanan masyarakat. “Tujuannya untuk memperkuat keterampilan komunikasi dalam menyampaikan informasi obat secara efektif kepada pasien,” ujarnya dikutip dari Antaranews.com, Sabtu (2/8/2025).
Husna menjelaskan, kegiatan tersebut berangkat dari sederet tantangan nyata yang dihadapi para tenaga farmasi di lapangan, seperti penyampaian informasi yang kurang jelas, penggunaan istilah medis yang membingungkan, hingga keterbatasan waktu dalam menjelaskan informasi obat.
Padahal, menurutnya, komunikasi yang baik antara tenaga farmasi dan pasien memainkan peranan krusial dalam menunjang keberhasilan obat. “Dengan komunikasi yang efektif, pasien akan merasa lebih aman, mau mendengar, dan memahami informasi obat maupun terapi yang dijalani,” imbuhnya.
Praktik Komunikasi Empatik
Menyambung Husna, public speaker Nisa Rahimia selaku pemateri menjelaskan, teknik komunikasi empatik dan sederhana adalah salah satu pendekatan yang tepat diterapkan dalam praktik pelayanan farmasi. “Dengan itu pasien akan merasa lebih nyaman dan paham tentang pengobatannya,” ujarnya.
Sebagaimana pernah dijelaskan Direktur Komunikasi dan Hubungan Masyarakat Institut Teknologi Bandung (ITB) Dr. N. Nurlaela Arief dalam sesi workshop di Jambore PR INDONESIA (JAMPIRO) #9 di Yogyakarta, Kamis (26/10/2023), komunikasi empatik dapat dibangun utamanya lewat kepekaan atau sensitivitas terhadap lawan bicara. Dalam konteks tenaga farmasi, beberapa hal yang perlu diperhatikan untuk membangun komunikasi empatik adalah aktif mendengar, melakukan kontak mata, mendekatkan posisi duduk, dan mengulang penyampaian pernyataan penting.
Selain itu, Nurlaela melanjutkan, dalam implementasi komunikasi empatik wajib hukumnya bagi komunikator untuk memvalidasi perasaan dan pengalaman orang lain. Dalam konteks ini, para tenaga farmasi dapat memberikan respons dengan penekanan pada kalimat seperti “Saya memahami”, “Saya turut prihatin”, atau “Saya percaya kamu bisa”, ketika menerima keluhan dari pasien. (eda)