Founder dan CEO Center for Public Relations, Outreach and Communication (CPROCOM) Emilia Bassar berbagi strategi implementasi DEI sebagai fondasi reputasi organisasi di IDEAS 2025. Praktik DEI yang berkelanjutan menjadi kunci kepercayaan stakeholder dalam jangka panjang.
JAKARTA, PRINDONESIA.CO - Reputasi yang kuat muncul dari perlakuan setara tanpa diskriminasi di dalam organisasi. Begitu kata founder & CEO Center for Public Relations, Outreach and Communication (CPROCOM) Emilia Bassar ketika membuka kelasnya di workshop IDEAS 2025 di Jakarta, Rabu (18/6/2025). Oleh karena itu, baginya, praktik Diversity, Equity, and Inclusion (DEI) bukan lagi pilihan, melainkan keharusan strategis.
Adapun fokus utama DEI, terang perempuan yang karib disapa Emil itu, adalah memberi ruang dan kesempatan adil bagi kelompok rentan atau minoritas, termasuk keberagaman etnik, kesetaraan gender bagi perempuan, dan inklusivitas bagi penyandang disabilitas. "Secara program komunikasinya harus transparan dan disebarkan melalui berbagai kanal yang terukur, dengan pesan yang jelas dan tepat sasaran," ucap anggota Dewan Nasional Perubahan Iklim (DNPI) tersebut.
Nilai-nilai DEI pun harus terintegrasi dalam visi-misi organisasi agar menjadi budaya yang hidup. Kepada peserta workshop, Emil mencontohkannya dengan sikap terbuka pada budaya baru untuk menumbuhkan inklusivitas. Selain itu, katanya, para peserta dapat pula mencontoh praktik terbaik yang dilakukan The Lego Group.
Emil menjelaskan, perusahaan dengan slogan "Play for everyone and so is our workplace" itu secara produk menciptakan sesuatu yang bisa dinikmati oleh orang dari berbagai latar belakang, kemampuan, dan kondisi fisik. Pun di lingkungan kerja, The Lego Group menerima dan menghargai semua karyawan, serta membuka kesempatan yang sama untuk sukses dan berkembang.
Mengukur dan Mengatasi Tantangan DEI
Implementasi program DEI, lanjut Emil, perlu digenapi dengan pengukuran yang berkelanjutan melalui monitoring dan evaluasi (monev) terstruktur. Dalam konteks ini, ia mengimbau para praktisi humas untuk bisa Corporate Reputation Quotient Model (CRQ) sebagai alat ukur, karena dapat menilai reputasi dari enam dimensi, yakni daya tarik emosional, kualitas produk, visi kepemimpinan, lingkungan kerja, kinerja keuangan, dan tanggung jawab sosial.
Ia juga menyarankan menerapkan kerangka pengukuran AMEC, dengan pengukuran yang didasari data valid dan asumsi logis."Pengukuran reputasi melalui CRQ memungkinkan organisasi untuk memahami persepsi pemangku kepentingan dan mengidentifikasi area yang perlu ditingkatkan," jelasnya lagi soal CRQ.
Di akhir sesinya, Emil mengakui, implementasi DEI di Indonesia menghadapi tantangan unik karena keberagaman budaya yang tinggi. Pendekatan yang sensitif terhadap konteks lokal, tegasnya, menjadi kunci.
Selain itu, Emil berpendapat, dewasa ini masih banyak penggunaan terminologi yang kurang tepat terkait DEI. Belum lagi soal rendahnya kesadaran dan empati di level pimpinan, serta adanya stereotip dan bias. “Tanpa keseriusan dari seluruh elemen perusahaan, inisiatif DEI hanya akan menjadi program seremonial tanpa dampak nyata," tandas Emil menegaskan urgensi dalam praktik DEI di Indonesia hari ini. (ARF)