Popularitas pejabat publik seperti Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi di medsos menunjukkan pergeseran pola komunikasi pejabat publik yang bergantung pada media sosial pribadinya untuk menciptakan narasi, citra, dan mengelola persepsi secara langsung tanpa perantara.
SEMARANG, PRINDONESIA.CO – Sejak beberapa tahun terakhir, jamak ditemukan pejabat publik yang memanfaatan media sosial (medsos) untuk berkomunikasi dengan masyarakat. Terbaru adalah Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi, yang secara aktif di berbagai platform medsos mengomunikasikan aktivitas kepemimpinannya.
Menurut Pakar Komunikasi Politik Universitas Brawijaya Verdy Firmanto dilansir dari CNN Indonesia, Rabu (30/4/2025), strategi yang ditempuh Dedi dapat disebut berhasil, karena pola komunikasinya sesuai dengan segmentasi masyarakat Jawa Barat yang memili basis generasi muda. “Keberhasilan komunikasi politik bergantung pada relevansi saluran dan pesan dengan karakter publiknya. Langkah Dedi bisa dinilai sebagai adaptasi strategis yang kontekstual,” jelasnya.
Adapun popularitas Dedi Mulyadi di medsos menunjukkan pergeseran pola komunikasi pejabat publik yang bergantung pada media sosial pribadinya untuk menciptakan narasi, citra, dan mengelola persepsi secara langsung tanpa perantara.
“Algorithmic White Branding”
Dalam konteks ini, pakar Ilmu Komunikasi dari Carleton University, Canada Prof. Merlyna Lim pada kuliah umum bertajuk “Social Media and Politics in Southeast Asia” di kampus FISIP Universitas Diponegoro, Semarang, Rabu (7/5/2025), mengingatkan, medsos tidak selalu sejalan dengan kebebasan berpikir dan perkembangan demokrasi. “Sejak awal medsos diciptakan untuk kapitalisme dengan monetisasi data dan dominasi market,” ujarnya dikutip dari keterangan resmi.
Lebih lanjut, Merlyna menjelaskan, algoritma tidak mengajarkan kritis karena yang dipentingkan hanyalah rasa. Situasi ini, menurut hematnya, bisa menciptakan polarisasi di kalangan masyarakat. Contohnya, imbuhnya, orang dengan mudah merasakan hal yang sama dengan orang lain di medsos, padahal mereka belum sama-sama mengenal.
Dalam konteks komunikasi politik, lanjut Merlyna, algorithmic white branding atau praktik memanipulasi pencitraan dengan memainkan emosi masyarakat guna mencuci citra seorang tokoh perlu diwaspadai dan dimitigasi dengan literasi algoritma. “Para political figure dan kandidat yang punya masa lalu suram, abu-abu, gelap bahkan berdarah, kemudian diciptakan (citra) secara baru dan ini ternyata efektif,” tandasnya menjelaskan praktik algorithmic white branding.
Sementara itu, Kepala Ombudsman Perwakilan Jawa Barat Dan Satriana berpandangan, komunikasi lewat medsos yang dilakukan oleh Dedi Mulyadi kerap tak lengkap sehingga menyebabkan pro dan kontra. Dalam hal ini, Dan menyoroti soal kebijakan pengiriman murid ke barak militer. Menurutnya, hal tersebut terjadi lantaran penyampaian informasi yang tidak lengkap. "Sebagian besar informasi program diperoleh masyarakat melalui pernyataan lisan Gubernur Jawa Barat di berbagai media sosial yang tentunya tidak dapat memuat informasi lengkap," kata Dan Satriana dalam pesan singkatnya di Bandung, Rabu (14/5/2025), dikutip dari ANTARA News. (eda)