Berulang kali praktisi komunikasi maupun akademisi menyuarakan pentingnya komunikasi yang dilandasi empati. Namun, pada kenyataannya hal itu masih menjadi pekerjaan rumah yang harus diselesaikan oleh pemerintah saat ini.
JAKARTA, PRINDONESIA.CO – Beberapa waktu lalu ramai pemberitaan tentang rentetan kasus siswa keracunan Makan Bergizi Gratis (MBG). Merujuk data Badan Gizi Nasional (BGN), tercatat sudah lebih dari 200 siswa keracunan makanan dari program unggulan Presiden Prabowo Subianto itu. Namun, jumlah kasus sebenarnya bisa jadi lebih besar. Sebab, anggota Komisi IX DPR RI Irma Suryani mengatakan, terdapat perbedaan data dengan kondisi di lapangan karena informasi kasus di beberapa daerah tidak sampai ke pusat.
Kendati jumlah siswa yang keracunan mencapai ratusan, Presiden Prabowo berpandangan, secara statistik angka tersebut hanya 0,005 persen. Dengan kata lain, baginya, tingkat keberhasilan program MBG bisa dikatakan mencapai 99,9 persen. “Dari tiga koma sekian juta, kalau tidak salah di bawah 200 orang (yang keracunan),” ucapnya dalam rapat kabinet di Istana Negara, Senin (5/5/2025).
Menurut Jenderal TNI Kehormatan Bintang 4 itu, kasus keracunan program MBG bisa terjadi karena siswa tidak menggunakan sendok ketika menyantap makanan yang diberikan, tidak mencuci tangan dengan bersih, atau belum terbiasa mengonsumsi menu-menu MBG seperti susu. “Ada anak yang terbiasa makan tidak pakai sendok. Namun, kami mendidik mereka untuk cuci tangan. Jadi, bisa saja yang keracunan (karena) hal-hal seperti itu,” lanjutnya.
Empati dan Keberpihakkan
Pernyataan Presiden Prabowo terkait kasus keracunan tersebut menuai beragam respons dari warganet. Sebagian besar bernada negatif, karena menilai Presiden Indonesia ke-8 itu kurang berempati dalam memberikan pernyataan. “Anak-anak yang disalahin? Minimal minta maaf, introspeksi,” tulis akun @hejmeis di unggahan konten reels @tempodotco, Rabu (7/5/2025).
Ada pula warganet yang memberikan rekomendasi agar pernyataan Presiden Prabowo terkait kasus tersebut mendapat dukungan dan simpati masyarakat. “Akan lebih bijaksana jika bapak Presiden mengatakan: Mohon maaf, program kami memang masih ada kelemahan, kekurangan dan ketidaksempurnaan. Keracunan makanan itu bukan hal yang bisa saya toleransi. Sebab, menyangkut kesehatan dan nyawa generasi Indonesia. Saya akan selidiki dengan serius mengapa sampai ada keracunan makanan. Beri kami waktu untuk memperbaiki ini secepat mungkin,” tulis akun @lactashare.
Dua dari sekian banyak respons warganet tersebut menegaskan satu hal. Komunikasi publik Presiden Prabowo terkait kasus ini jauh dari berempati. Pendekatan serupa jika diduplikasi ke berbagai kasus, hanya akan menggerus kepercayaan publik yang sedang diupayakan mati-matian oleh pemerintahan sekarang.
Sejak awal pemerintahan Presiden Prabowo, sejumlah praktisi komunikasi dan akademisi telah berulang kali menyuarakan pentingnya komunikasi yang dilandasi empati, mengingat banyaknya isu yang bergulir ke arah krisis.
Sebagaimana sempat disampaikan praktisi government public relations (GPR) sekaligus founder Govcom Ani Natalia Pinem kepada PR INDONESIA, Kamis (13/3/2025), pemerintah saat ini perlu menunjukkan keberpihakkan kepada rakyat kecil dengan pesan yang humanis. (eda)