Kota Hantu
PRINDONESIA.CO | Senin, 02/11/2020 | 1.189
Kota Hantu
Kegiatan ekstraktif selalu dibayangi potensi risiko kerusakan lingkungan maupun sosial. Mungkin ini pula penyebab munculnya pelibatan dan community involvement and development sebagai salah satu “sila” dalam ISO 26000.
Dok. Istimewa

Oleh: Noke Kiroyan, Chairman & Chief Consultant KIROYAN PARTNERS

JAKARTA, PRINDONESIA.CO - Biasanya kota hantu berawal dari penemuan tambang emas di sekitar lokasi. Masyarakat berbondong-bondong hijrah ke sana. Mencari peruntungan dengan menambang emas, kemudian membangun rumah, dan menetap. Namun, saat cadangan habis, tidak ada kegiatan perekonomian lain yang dapat menunjang kehidupan. Berbondong-bondong pula mereka meninggalkan tempat itu.

Dalam sejarah manusia, kota eks wilayah tambang tidak selalu berakhir menjadi kota hantu, melainkan malah mampu berkembang, bahkan maju. Seperti Denver, ibu kota negara bagian Colorado di Amerika Serikat, yang lahir dari penambangan emas pada abad 19. Sampai sekarang masih banyak pemandangan atau bangunan di Denver yang mengingatkan kita pada adegan film-film koboi. Kota ini sekarang sudah tumbuh dan berkembang pesat.

Demikian California, kota besar San Francisco yang muncul dari zaman “Gold Rush” pada abad 19. California menjadi salah satu pusat pengembangan produk teknologi tinggi secara global. Sedangkan Houston di Texas, menjadi pusat kegiatan eksplorasi dan eksploitasi minyak, yang sangat terkemuka di dunia, di samping kegiatan perekonomian lain.

BERITA TERKAIT
BACA JUGA
tentang penulis
komentar (0)
TERPOPULER

Event

CEO VIEW

Interview

Figure

BERITA TERKINI