Meredefinisi Makna Digitalisasi
PRINDONESIA.CO | Rabu, 29/01/2020 | 2.901
Meredefinisi Makna Digitalisasi
Alangkah baiknya jika PR sebagai pelaku yang bertugas mengelola brand mampu meredefinisi makna digitalisasi bagi perusahaan atau brand-nya.
Rizqi/PR INDONESIA

JAKARTA, PRINDONESIA.CO - Fenomena ini mendapat sorotan dari Anastasia Grace, Senior Brand Consultant DM ID. Menurutnya, tidak semua strategi yang diterapkan oleh perusahaan stratup cocok diimpelementasikan ke produk/servis perusahaan yang lain. Karena berbeda industri berbeda pula perilaku dan persepsi pelanggan terhadap teknologi.

Contoh, persepsi publik terhadap keberadaan aplikasi ojek berbeda dengan aplikasi konsultasi dokter meski sama-sama berbasis daring. “Jangan sampai salah kaprah,” kata perempuan yang ditemui PR INDONESIA selepas mengisi event DISRUPTO di Jakarta, Minggu (22/11/2019).

Manurut perempuan yang karib disapa Grace ini, alangkah baiknya jika public relations (PR) sebagai pelaku atau departemen yang bertugas mengelola brand mampu meredefinisi makna digitalisasi bagi perusahaan atau brand-nya. Sebab, tak jarang ia masih menemukan praktisi PR yang beranggapan bahwa digitalisasi itu sama artinya dengan membangun infrastruktur baru dan segalanya serba on-line. “Padahal, peranan teknologi lebih kepada kemampuan menjadikan teknologi digital relevan bagi produk dan layanan yang mereka deliver kepada target audiens,” ujarnya.

Contoh, era digital memungkinkan para pelanggan menjadi lebih cerdas karena mereka bisa mendapatkan informasi yang sama dengan yang diperoleh PR selaku produsen. Pelanggan kini cenderung menuntut kesamaan value. Mereka menjadi jauh lebih selektif dalam menentukan pilihan dan brand yang akan mereka gunakan. “Untuk itu, PR dituntut mengetahui value yang diinginkan oleh pelanggan. Jangan sampai PR justru menginvestasikan sesuatu yang sebenarnya tidak dibutuhkan oleh target audiens,” imbuhnya seraya berpesan.

Kini, cara PR melihat audiens pun tak sekadar dari sisi demografi seperti jenis kelamin, usia, dan socioeconomic status (SES) semata. Hal ini dikarenakan latar belakang tersebut tidak cukup untuk menjadi tolok ukur daya beli (buying power) seseorang. Lebih dari itu, audiens saat ini cenderung terbagi menjadi dua sisi. Pertama, sisi hobi/kegemaran. Kedua, kebiasaannya dalam mengonsumsi atau menggunakan produk/jasa. 

 

Sentuh Emosi

Selain itu, Grace melanjutkan, jika selama ini PR bertugas meningkatkan awareness hingga mendorong audiens untuk membeli, di era digital yang dibutuhkan audiens adalah pengalaman/customer experience. “Mereka ingin merasakan titik sentuh emosional yang kita bangun atau tawarkan. Karena pada akhirnya branding itu adalah hubungan emosional,” ujarnya. “Ada emosi yang dirasakan oleh pelanggan ketika mereka mendengar atau berinteraksi dengan brand kita,” imbuh Grace.

Jangan lupa, PR sebagai cerminan perusahaan harus mampu membangun hubungan yang tulus dan real (nyata) dalam berinteraksi dengan audiens. “Pelanggan ingin melihat apakah perusahaan/brand yang mereka gunakan memiliki ketulusan yang sama dengan mereka sebagai pengguna,” katanya.

Yang pasti, ujar Grace, reputasi perusahaan itu tidak akan langsung terbentuk hanya dengan cara rutin mendistribusikan rilis, membuat logo, atau bahkan hadir di media sosial. Lebih dari itu, cerita apa yang ingin dibangun dan terkandung di dalamnya. (ais)

.

BERITA TERKAIT
BACA JUGA
tentang penulis
komentar (0)
TERPOPULER

Event

CEO VIEW

Interview

Figure

BERITA TERKINI