Komunikasi, Kunci Manajemen Risiko Berkelanjutan
PRINDONESIA.CO | Selasa, 03/12/2019 | 2.518
Komunikasi, Kunci Manajemen Risiko Berkelanjutan
Segala bentuk risiko hendaknya diminimalisasi agar tidak menciderai reputasi perusahaan
Ratna/PR INDONESIA

JAKARTA, PRINDONESIA.CO - Industri perbankan banyak berubah sejak era digital. Jika dulu risiko terbesar adalah pinjaman yang berpotensi kredit macet. Maka, dalam kurun lima tahun ke belakang, risiko terbesar adalah risiko operasional (operational risk). Terlebih, jika sudah berkaitan dengan teknologi informasi.

Credit risk itu risiko yang bisa kita estimasi dan proyeksi. Sementara operational risk bisa terjadi kapan saja dan tidak bisa diprediksi jumlah kehilangannya. Kita juga harus berlomba dan lebih pintar dari para penjahat digital,” ujar Siddik saat menjadi pembicara di acara Roundtable Discussion WIKA – GIRMA bertema “Membangun Risk Leadership Dalam Rangka Menjaga Sustainabilitas Perusahaan” di Jakarta, pertengahan Agustus 2019 lalu.

Kondisi yang begini rentan, kata pria yang sudah 29 tahun menjadi management risk specialist itu, perlu risk management yang kuat. Untuk itu, ketahui dulu maturity level risk management perusahaan tempat kita bekerja. “Segala risiko bisa dihadapi dengan baik apabila seorang risk management-nya mampu berkomunikasi secara jelas disertai data, fakta, riset, analisis model, hingga jejak sejarah—bukan sekadar katanya,” ujar pria kelahiran 1964 itu.  

Berkelanjutan

Magdalena Wenas, founder Strategic Reputation Management Indonesia, berpendapat sama. “Kompleksitas meningkat cepat di era VUCA,” kata perempuan yang sudah tiga dekade dikenal sebagai spesialis reputasi dan auditor komunikasi, analisis dan strategis. “Kita tak hanya berhadapan dengan established threats, tapi juga rising threats seperti keamanan siber hingga hackers,” imbuhnya.  

Selain itu, ada perubahan paradigma dari komunikasi yang tertutup versus terbuka. Saat ini, komunikasi yang disertai dengan data dan fakta bisa melahirkan kekuatan maha dahsyat. Tantangan lain, di era komunikasi yang serba terbuka semenjak berkembangnya media sosial adalah semua orang di organisasi bisa menjadi komunikator.

Untuk itu, perlu adanya operational risk management. Terdiri dari operational integrity dan operational delivery. Sehingga, segala bentuk risiko baik yang asalnya dari dalam maupun luar organisasi bisa diminimalisasi agar tidak menciderai reputasi dan perusahaan dapat berkelanjutan. “Ketika sudah paham ini, kita bisa memberikan repons yang efektif dan pulih dengan cepat,” katanya.

Magda, begitu ia karib disapa, merangkum enam pendorong utama manajemen risiko berkelanjutan (sustainability risk management). Antara lain, reputasi dan kekuatan merek, keunggulan kompetitif dan produktivitas, peningkatan nilai pemegang saham, efisiensi operasional, efisiensi keuangan, SDM loyal dan intelektualnya meningkat.

Dalam membangun manajemen risiko yang berkelanjutan, ia juga menekankan pentingnya membangun relasi yang baik dengan seluruh stakeholder. Contoh, relasi yang baik dengan karyawan menjanjikan komitmen, dengan media berdampak pada distribusi informasi positif yang makin luas, mitra membuka peluang kolaborasi, dan lainnya. “Pastikan dalam membangun relasi mengandung unsur emotional appeal, komunikasi yang berkualitas, pesannya terpersonalisasi, dan jelas,” tambahnya.

Menurut Magda, reputation risk management bisa dilatih dengan melakukan empat fase. Fase pertama, lakukan reputasi audit, lalu analisis gapnya. Fase kedua, buat reputation platform. Fase ketiga, pilih strateginya dan cara mendistibusikan pesannya, lakukan perubahan manajemen. Tahap keempat, lacak perkembangannya menggunakan key metrics atau tracking tools lainnya. Lalu, nilai perkembangannya (scorecard development) mulai dari fase discovery, analisis, perkembangan, hingga riset. (rtn)  

BERITA TERKAIT
BACA JUGA
tentang penulis
komentar (0)
TERPOPULER

Event

CEO VIEW

Interview

Figure

BERITA TERKINI