Menurut Chairperson One Asia Communications sekaligus CEO Hahm Partners Siwon Hahm, peran praktisi komunikasi atau public relations (PR) telah berkembang menjadi pengarah teknologi yang membantu memperdalam pemahaman manusia dan menjunjung prinsip kebenaran.
BANGKOK, PRINDONESIA.CO – Perkembangan kecerdasan buatan (artificial intelligence/AI) telah membuka peluang tersendiri bagi praktisi public relations (PR) dalam membangun kepercayaan, memperdalam insight, dan meningkatkan efektivitas strategi komunikasi. Hal tersebut tergambar dalam laporan terbaru One Asia Communications bertajuk “AI Adoption Among PR Professionals in Asia 2025” yang diluncurkan di Bangkok, Thailand, Senin (17/11/2025).
Dalam studi yang dilakukan bersama RB Consulting dengan melibatkan hampir 300 profesional komunikasi in-house dari 12 negara di Asia, termasuk Kamboja, Tiongkok/Hong Kong, India, Indonesia, Jepang, Malaysia, Filipina, Singapura, Korea Selatan, Taiwan, Thailand, dan Vietnam, diketahui bahwa para praktisi PR memiliki peluang untuk memperkuat peran mereka sebagai konsultan strategis yang lebih matang, sekaligus mengoptimalkan proses kerja dengan memanfaatkan alat AI untuk tugas-tugas taktis.
Sebagaimana disampaikan Chairperson One Asia Communications sekaligus CEO Hahm Partners Siwon Hahm, keberadaan AI telah mengubah dan meningkatkan peran komunikator menjadi penghasil insight dan pembangun kepercayaan yang lebih kuat. “Kita bergerak dari sekadar mengerjakan semuanya sendiri, menjadi pengarah teknologi yang membantu memperdalam pemahaman manusia dan menjunjung kebenaran,” ujarnya dalam siaran pers yang diterima oleh PR INDONESIA, Selasa (18/11/2025).
Siwon menerangkan, di kawasan Asia pemanfaatan AI hari ini sudah jamak untuk analisis audiens dan optimalisasi kreativitas, pemetaan pemangku kepentingan, pemantauan reputasi, dan manajemen isu prediktif. Selaras dengan itu, katanya, para pemimpin PR juga sudah mulai ambil peran dalam membimbing organisasi untuk memahami implikasi etis, reputasional, dan sosial dari penerapan AI. Berdasarkan itu, diprediksi dalam lima tahun ke depan AI akan berfungsi sebagai “co-pilot” strategis bagi para komunikator.
Generative Engine Optimisation dan Governance, Ethics, and Oversight
Laporan OAC ini juga menyoroti peran Generative Engine Optimisation (GEO) sebagai disiplin baru dalam dunia komunikasi. GEO menggambarkan bagaimana AI, data, dan storytelling berpadu untuk menciptakan pengalaman audiens yang adaptif dan personal. Dalam lanskap yang kini dipetakan oleh sistem AI, kata Siwon, visibilitas brand tidak lagi hanya ditentukan dari coverage atau impressions, tetapi juga dari bagaimana sebuah organisasi diinterpretasikan dan dipercaya oleh perangkat AI.
Melengkapi Siwon, CEO Maverick Indonesia sekaligus Founding Member OAC Ong Hock Chuan mengatakan, di era sekarang brand yang alpa di ekosistem generatif berisiko kehilangan relevansi. Oleh karena itu, tegasnya, komunikator harus bisa merancang strategi agar informasi seputar brand-nya mudah untuk ditemukan dan dipahami, bukan sekadar ada.
Di sisi lain, GEO juga merujuk pada Governance, Ethics, and Oversight sebagai fondasi integrasi AI yang bertanggung jawab dalam praktik komunikasi. Dalam laporan tersebut, para komunikator di seluruh kawasan sepakat bahwa ketiga prinsip tersebut sangat penting untuk membangun dan melindungi kepercayaan publik.
Dijelaskan oleh Managing Director Distilleri Singapore yang juga Founding Member OAC Jin Ooi dapun elemen governance (tata kelola) meliputi kebijakan internal yang jelas serta kerangka akuntabilitas dalam penggunaan AI. Sementara ethics (etika) merujuk pada pembuatan output komunikasi yang jujur, transparan, dan benar. Sedangkan oversight (pengawasan) berarti adanya pengawasan manusia yang memastikan penilaian strategis tidak sepenuhnya bergantung pada mesin. “Kerangka GEO memastikan ketika kita berinovasi, kita tetap menjaga integritas komunikasi,” pungkas Managing Director Distilleri Singapore sekaligus Founding Member OAC Jin Ooi. (EDA)