Anggota Komisi XII DPR RI Jalal Abdul Nasir berpandangan, pemerintah perlu memperkuat komunikasi publik agar kebijakan strategis sektor energi tidak disalahpahami.
JAKARTA, PRINDONESIA.CO – Kelangkaan bahan bakar minyak (BBM) di stasiun pengisian bahan bakar umum (SPBU) swasta di Indonesia masih menjadi sorotan publik. Terpantau sejak akhir Agustus lalu, beberapa SPBU swasta mengalami kekosongan pasokan akibat kebijakan pemerintah yang memperketat izin impor dan memperpendek kuota impor. Hal tersebut membuat pasokan dan distribusi BBM ke SPBU swasta terganggu.
Sebagai solusi, pemerintah melalui Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) pimpinan Bahlil Lahadalia, mengajak SPBU swasta untuk membeli bahan bakar dasar (base fuel) langsung dari Pertamina melalui skema business-to-business (B2B), agar stok segera terisi dan distribusi kembali lancar.
Pergeseran kebijakan tersebut sontak menuai polemik di ruang publik, terutama karena tidak dibarengi dengan penjelasan resmi yang memadai. Hal itu ditegaskan oleh Anggota Komisi XII DPR RI Jalal Abdul Nasir. Menurutnya, pemerintah perlu memperkuat komunikasi publik agar kebijakan strategis sektor energi tidak disalahpahami.
Politisi fraksi PKS itu menilai, persoalan yang terjadi sekarang bukan semata soal substansi kebijakan, tetapi tentang bagaimana kebijakan itu dikomunikasikan kepada publik. Dalam konteks ini, lanjut Jalal, pemerintah sejatinya memiliki niat baik dalam menjaga ketahanan energi dan devisa. “Namun, tanpa penjelasan yang memadai, publik keliru dan menganggap seolah-olah pemerintah menghambat,” ujarnya dilansir dari MEDIA INDONESIA, Kamis (2/10/2025).
Jalal pun menekankan pentingnya komunikasi publik yang proaktif dan terbuka dari pemerintah, khususnya Kementerian ESDM dan Badan Komunikasi Pemerintah (BKP). Menurutnya, strategi komunikasi yang jelas dan terorganisir dari satu pintu menjadi kunci keberhasilan membangun pemahaman masyarakat terkait kebijakan impor. “Rakyat harus tahu bahwa pemerintah bekerja untuk melayani rakyat, bukan untuk kepentingan segelintir pihak. Jelaskan secara jujur dan terbuka agar tidak muncul kesalahpahaman,” imbuhnya.
Pemerintah Tidak Boleh Berjarak
Iklim komunikasi serupa seperti terjadi dalam isu BBM ini sejatinya kerap terjadi. Sebelumnya, dosen Departemen Ilmu Komunikasi FISIP Universitas Airlangga (UNAIR) Dr. Suko Widodo, DRs., MSi., pernah menyoroti pola komunikasi pemerintah yang kerap menimbulkan jarak dengan rakyatnya.
Padahal, menurut Suko, posisi pemerintah sudah jelas yakni sebagai pelayan rakyat sebagai pemegang kedaulatan tertinggi. “Namun, dalam praktiknya, cara komunikasi pemerintah seringkali menempatkan diri seolah lebih berkuasa, alih-alih berperan sebagai pelayan publik,” ucapnya dikutip dari UNAIR News, Rabu (9/4/2025).
Suko menjelaskan, dalam konteks ini diksi dan gaya penyampaian juru bicara kepresidenan maupun kementerian perlu dibenahi agar tidak lagi terkesan instruktif dan kurang menunjukkan empati terhadap keresahan rakyat. Ia pun menyarankan agar pemerintah menghadirkan komunikasi yang menenangkan, menumbuhkan rasa percaya, dan menunjukkan kepedulian terhadap kebutuhan rakyat ketika menyampaikan kebijakan publik. (EDA)