Krisis Itu Namanya Covid-19
PRINDONESIA.CO | Selasa, 31/03/2020 | 1.980
Krisis Itu Namanya Covid-19
Mereka yang tidak punya protokol penanganan akan kocar-kacir kala krisis mendera
Dok. Science News

JAKARTA, PRINDONESIA.CO - Krisis memang tidak pernah mengenal negara. Karena ia tidak memiliki identitas warga negara. Krisis datang dan pergi tak pernah diduga. Orang bijak selalu bilang, “Lebih baik mengantisipasi (mitigasi) ketimbang krisis datang yang bisa berakibat tunggang langgang (karena tidak siap) mengelolanya.” Begitulah saat krisis menerpa. Mereka yang tidak pernah siap menghadapinya, tidak punya protokol penanganan, atau menganggap remeh, selalu akan kocar-kacir kala krisis mendera.

Krisis memang telah menjadi ujian paling serius dan berat bagi setiap pemimpin. Baik pemimpin organisasi, korporasi, maupun negara. Di saat krisis, biasanya pemimpin akan dihadapkan pada begitu banyak informasi yang masuk kepadanya, terkait dengan anatomi krisis hingga cara mengelolanya. Informasi itu memiliki kadar kualitas dan kredibilitas berbeda. Dari hoaks hingga sangat kredibel.

Tugas pemimpin adalah memilah mana informasi yang kredibel dan pantas ia gunakan untuk menganalisa situasi dalam menghadapi krisis. Bukan hal mudah bagi pemimpin untuk memilihnya. Selain karena jumlah informasinya yang banyak, sudut pandang kepentingan juga masuk di dalamnya. Apalagi jika datang dari orang-orang yang ia percaya. Semua ingin berebut memberi advis. Di sinilah ujian pertama pemimpin. Memilih informasi yang kredibel secara jernih.

Ini barulah awal dari serangkaian upaya menangani krisis. Namun, jika ini berhasil dilewati dengan baik, pemimpin akan memiliki bahan untuk menavigasi timnya bersama-sama mengelola krisis dengan tahapan yang benar dan efektif. Informasi yang kredibel pilihan sang pemimpin itu, begitu penting artinya untuk mengambil keputusan. Berupa tindakan apa yang akan diambil agar krisis bisa segera ditangani dengan baik, serta berharap lekas usai.

Ujian Kedua

Saat hendak memutuskan tindakan apa yang akan diambil, ujian kedua muncul. Setegas apa pemimpin mengambil keputusan? Bisakah ia memutus sebuah tindakan yang selaras dengan harapan  publik? Ataukah tindakan yang hanya mementingkan orang-orang di sekitarnya? Hal ini jelas bukan perkara yang mudah. Pemimpin harus menimbang dengan saksama agar keputusan itu tidak salah. Tidak menciderai harapan publik, sekaligus ampuh dalam menyelesaikan krisis.

Sikap bijak menjadi elemen penting untuk diikutsertakan oleh pemimpin saat ingin mengambil keputusan dalam situasi krisis. Bahkan dalam situasi normal pun, sikap bijak harus selalu dijadikan pertimbangan. Bijak berarti melihat konteks krisis dan dampaknya kepada publik. Bijak juga bermakna berani mengorbankan kepentingan lebih kecil untuk kemaslahatan banyak pihak. Sekali lagi sulit, tidak mudah, butuh keberanian.

Seperti dalam kasus wabah Covid-19 di Indonesia. Ketegasan Presiden RI Joko Widodo harus dibalut dengan kearifannya dalam memutuskan tindakan-tindakan lanjutan setelah menyatakan bahwa Covid-19 telah mewabah di negeri ini. Saya yakin, Presiden menerima begitu banyak masukan berupa informasi, strategi, hingga–bahkan—donasi dari berbagai pihak. Semua itu harus dipertimbangkan Presiden dan harus ia putuskan secara cepat, tepat, tegas, dan penuh tanggung jawab. Karena ia adalah pemimpin sekaligus kepala negara.

Walau sulit, keputusan apapun sepanjang memenuhi koridor tegas, relevan, tepat, dan bijak, akan memberi dampak positif penanganan wabah corona. Pemerintah tampaknya tidak ingin situasi pandemik Covid-19 disebut sebagai krisis. Tapi, suka atau tidak suka, pandemi ini sudah menjadi krisis meskipun tak perlu dideklarasi. Mengomunikasikan situasi krisis dengan benar, terbuka, dan kredibel, adalah langkah bijak pemerintah mengurangi dampak psikis, ekonomi, dan sosial, di luar dampak kesehatan yang timbul bagi publik. Asmono Wikan

BERITA TERKAIT
BACA JUGA
tentang penulis
komentar (0)
TERPOPULER

Event

CEO VIEW

Interview

Figure

BERITA TERKINI