">
Siapakah Generasi "Xennials"?
PRINDONESIA.CO | Selasa, 25/02/2020 | 1.888
Siapakah Generasi
Travelling menjadi aspek penting dalam kehidupan xennials maupun millennials. Generasi ini mencari pengalaman.
Dok. Istimewa

Oleh: Harry Deje, Managing Director, Verve dan Chameleon, JWT Company Indonesia.

JAKARTA, PRINDONESIA.CO - Rentang usia millennials yang lahir di tahun 1980-an sampai 1997-an yang cukup besar menjadi weak spot dalam menentukan metode gaya komunikasi yang tepat. Seorang millennials berusia 37 tahun tentu memiliki preferensi dan pandangan yang berbeda dengan yang berusia 26 tahun.

Belakangan ini, kita mengenal generasi yang disebut dengan xennials. Beberapa pihak menyebut mereka sebagai the lucky ones atau generation catalano. Xennials merupakan perpaduan antara Gen-X dan millennials. Saat ini xennials berusia 30 – 45 tahun. Menurut riset JWT Intelligence Asia Pasifik, xennials-lah yang seharusnya menjadi fokus kegiatan marketing brands dalam beberapa tahun mendatang. Mengapa?

Pertama, xennials secara finansial sudah memiliki buying power, namun masih mencari definisi kedewasaan yang tepat untuk tidak merasa “dirugikan” oleh brands. Xennials cenderung skeptis terhadap berbagai hal, termasuk saat membangun persepsi terhadap perusahaan ternama. Generasi ini lebih menghargai ketulusan dan transparansi.

Kedua, xennials memiliki sensibilitas yang lebih tinggi dalam menentukan prioritas di beberapa aspek kehidupan seperti kesehatan, pengalaman, gaya hidup, dan kesenangan, dan lainnya. Meski begitu, xennials menghargai fleksibilitas untuk tidak menaruh harta mereka pada sesuatu yang mengikat. Misalnya, seperti menentukan tempat tinggal, masih lebih banyak xennials yang beranggapan lebih baik menyewa tempat tinggal.

Ketiga, travelling menjadi aspek penting dalam kehidupan xennials maupun millennials. Generasi ini mencari pengalaman. Generasi ini tidak hanya merasa mendapatkan pemuasan diri oleh hasil kerja kerasnya, namun juga sebagai ajang pencarian jati diri. Bagi xennials, sebuah perjalanan adalah asupan untuk jiwa dan “how they feel” sangatlah penting.

Keempat, generasi xennials tidak ragu untuk bersikap berbeda dengan pola parenting yang dilakukan oleh generasi sebelumnya. Semua itu hanya untuk mendapatkan work-life balance sesuai harapan mereka. Penulis konten parenting perlu berevolusi untuk menampilkan halhal yang bersifat real.

 

“Disconnect”

Kelima, xennials hidup dan tumbuh dalam budaya “hipster culture”. Mereka cenderung mencari brands yang edgy dan sesuai dengan gaya hidup mereka, namun juga tanpa mengesampingkan unsur kedewasaan. Atau, tidak menjadi sama dengan generasi millennials muda yang juga kian terpapar oleh tren.

Keenam, xennials mencari lingkungan pekerjaan yang menurut mereka memiliki unsur tujuan sosial, namun juga mendukung keinginan berinovasi. Ketujuh, dengan pola pikir idealisme tersendiri, xennials merupakan generasi yang kritis, termasuk dalam hal politik. Tidak hanya kritis, xennials lebih vokal dan berani menyampaikan aspirasi mereka yang mengedepankan transparansi, kejujuran, dan kesejahteraan bersama yang realistis. Kedelapan, di tengah era yang semakin menuju all digital,  xennials justru mencari kesempatan untuk bisa disconnect. Sering kali mereka menghabiskan waktu bersatu dengan alam.

Melihat dari karakteristik yang disampaikan sebelumnya, brands perlu beradaptasi dan menyesuaikan diri dalam menyampaikan pesan perusahaan yang memiliki unsur new adult value. Unsur ini saya klasifikasikan ke dalam tiga aspek utama, yakni penyajian aspek luxuriousness & consumerism, one-of-akind experience, dan memiliki point of view yang relevan dengan karakteristik xennials. Dengan beradaptasi dan menampilkan unsur new adult value ini, perusahaan tidak perlu khawatir lagi untuk kehilangan audiensnya. Xennials akan “nempel” dan dengan pesonanya memengaruhi generasi selanjutnya.

BERITA TERKAIT
BACA JUGA
tentang penulis
komentar (0)
TERPOPULER

Event

CEO VIEW

Interview

Figure

BERITA TERKINI