Direktur Jenderal Komunikasi Publik dan Media Kementerian Komunikasi dan Digital Fifi Aleyda Yahya mengatakan, media sosial hari ini bukan lagi sebatas ruang cerita, tetapi telah menjadi ruang utama pembentukan opini publik.
JAKARTA, PRINDONESIA.CO – Kementerian Komunikasi dan Digital (Komdigi) melalui Direktorat Komunikasi Publik, Direktorat Jenderal Komunikasi Publik dan Media menyelenggarakan pembekalan Social Media Ready: Verify, Clarify, Respond, pada hari Rabu (12/11/2025) di Jakarta. Acara tersebut menjadi salah satu upaya Komdigi memperkuat peran government public relations (GPR) merespons krisis di media sosial.
Disampaikan oleh Direktur Jenderal Komunikasi Publik dan Media Kementerian Komunikasi dan Digital Fifi Aleyda Yahya, media sosial hari ini bukan lagi sebatas ruang cerita, tetapi telah menjadi ruang utama pembentukan opini publik. “Dalam hitungan detik, sebuah informasi dapat menyebar luas dan membentuk persepsi bahkan memengaruhi sebuah kebijakan,” ujarnya dilansir dari ANTARA News, Kamis (13/11/2025).
Oleh karena itu, kata Fifi, dalam mengelola komunikasi publik praktisi GPR perlu berfokus pada tiga prinsip utama. Di antaranya verify yang merujuk pada memastikan kebenaran data, narasi dan visual, clarify alias berani meluruskan informasi yang keliru dengan cara cerdas, santun dan berbasis fakta, serta respond atau kehadiran di ruang digital dengan pesan yang jelas, konsisten dan menenangkan publik.
Mengutip penelitian University of Southern California Center for Public Relations yang menyebut sebesar 53 persen responden memprediksi media sosial akan menjadi kanal paling relevan dalam mencapai tujuan program komunikasi pada tahun 2030, Fifi pun mengajak para praktisi GPR untuk dapat memperkuat komunikasi digital di media sosial sebagai tameng menghadapi potensi krisis, hoaks maupun misinformasi.
Metode “PRIME”
Dalam kesempatan yang sama, Tenaga Ahli Direktorat Jenderal Komunikasi Publik dan Media Komdigi Latief Siregar menilai, GPR harus semakin siap menghadapi tantangan krisis yang lebih besar di media sosial. Ia pun menyebut bahwa metode PRIME (prepare, intercept, message, dan engage) dapat menjadi pedoman menghadapi tantangan krisis di media sosial. “Reputasi pemerintah tidak hanya dibentuk oleh fakta di media sosial, tetapi juga pesan bermuatan emosi, persepsi dan kecepatan,” lanjutnya.
Adapun metode PRIME yang ditekankan Latief selaras dengan teori Situational Crisis Communication Theory (SCCT) yang dikembangkan W. Timothy Coombs. Teori tersebut menekankan pentingnya respons pertama yang cepat dan empatik sebagai faktor kunci dalam membentuk persepsi publik terhadap lembaga selama krisis. Lembaga yang hadir lebih awal dengan informasi terbuka dan akurat, tulis Coombs, memiliki peluang lebih besar untuk mempertahankan kredibilitas di mata masyarakat dan meminimalkan kerusakan reputasi. (EDA)