Belajar dari Tragedi “Pesantren Roboh”, Pentingnya Komunikasi Empatik
PRINDONESIA.CO | Kamis, 09/10/2025
Belajar dari Tragedi “Pesantren Roboh”, Pentingnya Komunikasi Empatik
Lokasi tragedi robohnya bangunan di salah satu pondok pesantren di Sidoarjo, Jawa Timur,
doc/BNPB

JAKARTA, PRINDONESIA.CO –  Tragedi robohnya bangunan di salah satu pondok pesantren di Sidoarjo, Jawa Timur, beberapa waktu lalu tidak hanya menyisakan duka mendalam atas jatuhnya korban jiwa, tetapi juga meninggalkan pertanyaan besar atas lambatnya komunikasi publik yang dilakukan pihak terkait. Dalam situasi penuh kepanikan itu, publik dibiarkan menebak-nebak kebenaran informasi, di antara beragam spekulasi dan tuduhan yang belum tentu benar. 

Dosen Ilmu Komunikasi FISIP Universitas Slamet Riyadi Silvi Aris Arlinda berpandangan, tragedi tersebut tidak hanya tentang runtuhnya sebuah bangunan fisik, tetapi juga struktur kepercayaan masyarakat terhadap lembaga. “Di tengah hiruk-pikuk narasi yang saling tumpang tindih, satu hal yang menjadi jelas bukan hanya bangunan yang roboh, tetapi juga kepercayaan publik ikut goyah,” ujarnya dilansir dari KETIK.com, Senin (6/10/2025).

Dalam konteks ini, Silvi menekankan pentingnya manajemen komunikasi krisis. Sebab, dalam setiap tragedi fisik maupun sosial, yang paling rapuh bukan hanya struktur bangunan, tetapi juga kepercayaan antara masyarakat dan lembaga terkait.

Perempuan peraih gelar Magister Ilmu Komunikasi Universitas Brawijaya itu menilai, kesalahan umum yang paling sering terjadi adalah lambatnya komunikasi institusi atau lembaga dalam menghadapi krisis. Padahal, di tengah situasi genting, masyarakat menunggu kejelasan. “Siapa yang bertanggung jawab, bagaimana kondisi korban, dan langkah apa yang diambil agar tragedi serupa tidak terulang,” jelasnya.

Apabila informasi resmi datang terlambat atau tidak terkoordinasi, lanjut Silvi, publik akan mengisi kekosongan itu dengan tafsir sendiri. Di sinilah kepanikan dan ketidakpercayaan mulai tumbuh.

Pandangan Silvi sejalan dengan Situational Crisis Communication Theory (SCCT) dari W. Timothy Coombs. Teori tersebut menekankan pentingnya respons pertama yang cepat dan empatik sebagai faktor kunci dalam membentuk persepsi publik terhadap lembaga. Semakin cepat dan terbuka sebuah institusi memberikan penjelasan, semakin besar peluang mereka mempertahankan kredibilitas di mata masyarakat.

Langkah Strategis

Tidak hanya pada tragedi bangunan pesantren yang roboh, Silvi melihat keterlambatan komunikasi juga kerap terjadi di berbagai kasus. Hal ini, katanya, menunjukkan bahwa komunikasi masih sering dianggap pelengkap, bukan bagian inti dari manajemen krisis.

Menurut Silvi, ada beberapa langkah sederhana yang bisa dilakukan dalam komunikasi krisis bencana maupun tragedi. Pertama, menggelar konferensi pers terbuka maksimal 24 jam setelah kejadian. Kedua, menunjuk juru bicara tunggal yang kompeten dan berempati. Ketiga, membuka saluran komunikasi publik seperti hotline, akun media sosial resmi, atau situs web untuk memperbarui informasi secara rutin.

Ketiga langkah tersebut, lanjut Silvi, tidak hanya hanya bisa mencegah kebingungan, tetapi juga menumbuhkan rasa aman di masyarakat karena mengetahui bahwa masalah sedang ditangani secara serius dan transparan. Tidak luput, Silvi menegaskan inti dari komunikasi krisis adalah empati atas apa yang dirasakan publik mulai dari kehilangan, kecewa, marah, dan takut. “Tanpa empati, komunikasi hanya menjadi formalitas dan publik akan merasakannya,” ujarnya.

Senada dengan Silvi, pendiri sekaligus Principal Consultant NAGARU Communication Dian Agustine Nuriman sempat menegaskan, dalam menghadapi krisis perlu adanya sense of heart yang merujuk kepada kemampuan berkomunikasi dengan hati dan penuh empati. “Raut wajah, cara bicara, hingga pakaian yang dikenakan saat hadir di lokasi krisis sangat berpengaruh, dan memiliki makna simbolik yang sangat penting,” ujarnya. (EDA)

BERITA TERKAIT
BACA JUGA
tentang penulis
komentar (0)
TERPOPULER

Event

CEO VIEW

Interview

Figure

BERITA TERKINI