Generasi muda kini lebih mengandalkan TikTok daripada Google untuk mencari informasi. Tren ini memaksa praktisi humas merombak strategi komunikasi agar mampu memimpin narasi dan membangun percakapan yang autentik.
SURABAYA, PRINDONESIA.CO – Dewasa ini media digital memainkan peran penting dalam lanskap komunikasi. Hal tersebut ditegaskan CEO Infipop Irfan Prabowo dalam workshop Anugerah HUMAS INDONESIA (AHI) 2025 bertajuk "Memimpin Narasi di Era Media Baru: Mengembangkan Strategi Komunikasi Publik yang Tepat Sasaran di Era Homeless Media", di Surabaya, Rabu (24/9/2025).
Kesimpulan itu didasarkan pria yang karib disapa Fanbul itu berdasarkan fakta bahwa 40 persen dari Generasi Z menggunakan TikTok sebagai mesin pencari utama, mengalahkan dominasi Google. Sementara dalam konteks mendapatkan informasi, lanjut Fanbul, 72 persen dari Gen Z mengandalkan social first content, bukan portal berita konvensional. Data Edelman Trust Barometer 2024 juga menunjukkan bahwa Gen Z lebih percaya teman dan media-mikro daripada institusi media formal. "Rentang perhatian mereka juga mengalami penurunan dari 30 detik menjadi 20 detik, memaksa kreator konten termasuk praktisi humas untuk menyesuaikan format penyampaian pesan," jelasnya.
Pergeseran ini, terang Fanbul, melahirkan tren media baru (new media) dan homeless media. Di sini, katanya, siapa saja bisa menjadi entitas media. Hal ini sejalan dengan teori lingkar publik berjaringan (networked public sphere) yang digagas oleh Yochai Benkler dalam bukunya The Wealth of Networks (2006), tentang bagaimana informasi menjadi terdesentralisasi dan tidak lagi terpusat pada beberapa media besar saja.
Menurut Fanbul, perubahan pola konsumsi informasi masyarakat hari ini menghadirkan empat tantangan utama bagi humas pemerintah maupun korporasi. Di antaranya kekacauan informasi. Kemudian tuntutan untuk lebih cakap membentuk persepsi daripada sekadar menyampaikan berita. Selain itu, lanjutnya, fragmentasi audiens telah membuat strategi "satu untuk semua" tidak lagi efektif. "Karena anak muda ada di TikTok, warga desa di Facebook, dan profesional di LinkedIn," terangnya menegaskan pentingnya relevansi.
Tak kalah menantang dari hal-hal di atas, Fanbul menggarisbawahi bahwa krisis kepercayaan kini telah membuat publik cenderung meragukan niat baik institusi sekalipun program yang dijalankan positif. Ditambah, potensi sebuah isu menjadi viral sering kali bergerak jauh lebih cepat daripada respons publik yang harus melewati berbagai lapis birokrasi.
Merancang Strategi Komunikasi yang Tepat Sasaran
Menghadapi pelbagai tantangan tersebut, program kerja kehumasan tidak bisa lagi sekadar mengirimkan siaran pers. Di AHI 2025, tegas Fanbul, humas harus mampu memimpin narasi. "Di era ini, kepercayaan tidak bisa lagi diperintahkan, tetapi harus diraih. Humas harus beralih dari sekadar menyiarkan pesan menjadi memfasilitasi percakapan yang autentik dan bernilai bagi audiens," ujarnya.
Dalam konteks ini Fanbul merekomendasikan kerangka kerja STEPPS yang dicetuskan oleh Jonah Berger dalam bukunya Contagious: Why Things Catch On (2013) untuk menciptakan konten yang berpotensi viral. Kerangka ini terdiri dari enam elemen: Social Currency (membuat orang terlihat keren saat berbagi), Triggers (pemicu yang mengingatkan), Emotion (konten yang menyentuh emosi), Public (mudah dilihat dan ditiru), Practical Value (bermanfaat), dan Stories (dikemas dalam cerita).
Adapun untuk mengukur keberhasilan, Fanbul menyarankan humas untuk mendasarkan praktiknya pada tiga lapisan metrik. Pertama, Indeks Kepercayaan untuk mengukur sentimen publik. Kedua, Metrik Pergeseran Narasi untuk melihat apakah percakapan telah bergeser dari negatif ke positif. Ketiga, Metrik Perilaku untuk mengukur dampak nyata berupa perubahan perilaku di masyarakat. "Dengan strategi komunikasi yang terukur, praktisi humas dapat memimpin narasi publik. Selama membuat konten dan narasinya bagus, masyarakat akan mengikutinya," pungkasnya.
Ikuti terus informasi tentang rangkaian acara puncak AHI 2025 hanya di humasindonesia.id dan prindonesia.co. (ARF)