Dosen Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Politik (FISIP) Universitas Airlangga Suko Widodo mengajak praktisi GPR lebih berani bertransformasi dari sekadar penjaga citra menjadi penjaga kredibilitas dengan komunikasi yang transparan, responsif, dan berorientasi pada publik.
SURABAYA, PRINDONESIA.CO – Kepercayaan publik tidak bisa dipoles. Ia hanya bisa ditumbuhkan melalui keterbukaan, empati, dan kesediaan pemerintah menempatkan rakyat sebagai subjek, bukan objek. Demikian kata dosen Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Politik (FISIP) Universitas Airlangga Suko Widodo membuka pemaparannya dalam sesi Konferensi Anugerah HUMAS INDONESIA di Hotel Platinum, Surabaya, Selasa (23/9/2025).
Pernyataan Suko tersebut menjadi pengingat bagi praktisi humas atau government public relations (GPR) agar senantiasa melandari komunikasi publik dengan transparansi dan empati. Pernyataan itu juga ia sampaikan karena melihat sebagian besar lembaga pemerintah hari ini masih lebih sibuk mengabarkan siapa yang hadir dalam rapat dibandingkan menjelaskan apa yang diputuskan.
Menjadi ironi, kata Suko, ketika saluran komunikasi pemerintah lebih banyak mengunggah foto pejabat tersenyum dibandingkan penjelasan mengenai progres kebijakan yang menyentuh kehidupan rakyat. “Padahal kepercayaan tidak lahir dari foto-foto seremonial, melainkan dari komunikasi yang terbuka, jujur, dan bisa dipertanggungjawabkan,” ujarnya.
Suko lantas mencontohkan dengan inisiatif sebuah masjid Jogokariyan di Yogyakarta, yang mencatat dan menginformasikan setiap keluar-masuk rupiah dari hasil infak jamaah melalui papan kayu sederhana. Ada pula Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Jawa Timur yang sigap menyiarkan informasi lewat berbagai saluran ketika ada bencana. Kedua contoh itu, katanya, menampilkan transparansi bukan sekadar sebagai konsep, tetapi tindakan nyata. “Tidak ada informasi yang ditahan dengan alasan formalitas. Semua diberikan cepat agar warga bisa menyelamatkan diri,” paparnya.
Tiga Langkah Penting
Dari kedua contoh di atas, pria yang juga menjabat Ketua Perhimpunan Hubungan Masyarakat Indonesia (Perhumas) Surabaya Raya itu menarik benang merah yang bisa diadaptasi praktisi GPR. Pertama, keberanian untuk transparan sebelum diminta, dan jangan menunggu pertanyaan untuk membuka informasi.
Kedua, responsif alih-alih defensif. Ketiga, berorientasi pada publik bukan pejabat. “Humas yang melayani publik lebih dipercaya ketimbang humas yang sibuk menjaga wajah penguasa. Humas publik harus berani berubah. Dari sekadar manajer citra menjadi penjaga kredibilitas,” pesannya.
Suko menandaskan, apa yang dibutuhkan masyarakat saat ini adalah humas yang melayani, dan mampu membuat warga tertarik untuk mendengar. Sebab, hanya dengan itu rasa percaya dapat terbangun. Menurut Suko, publik yang percaya akan lebih siap menerima kebijakan, bahkan ketika kebijakan itu berat. Sebaliknya, publik yang curiga akan menolak, bahkan sebelum kebijakan dijelaskan.
Ikuti terus informasi tentang rangkaian acara puncak AHI 2025 hanya di humasindonesia.id dan prindonesia.co. (EDA)