Edelman Indonesia laporan terbarunya bertajuk Indonesia’s Protest Politics: Tax, Labor & Privilege menyoroti peningkatan tensi sosial-politik di Indonesia dan kaitannya dengan dunia usaha/korporasi.
JAKARTA, PRINDONESIA.CO – Edelman Indonesia dalam laporan terbarunya bertajuk Indonesia’s Protest Politics: Tax, Labor & Privilege menyoroti peningkatan tensi sosial-politik di Indonesia dalam beberapa pekan terakhir dan kaitannya dengan dunia usaha/korporasi.
Associate Director, Corporate and Public Affairs (CPA) Edelman Indonesia Gustiasa Muhammad menjelaskan, analisis dalam laporan tersebut memuat relevansi dari segi komunikasi dan pengelolaan hubungan stakeholder, karena protes yang bernuansa ekonomi, tenaga kerja, dan ketidakpuasan publik dapat memengaruhi persepsi terhadap korporasi.
Dalam konteks ini, kata Gustiasa, laporan anyar Edelman Indonesia menjadi semacam alarm bagi perusahaan untuk tidak lagi berdiam diri, atau mengeluarkan pesan yang kurang peka. “Perusahaan dan brand dituntut untuk lebih berhati-hati dalam mengelola narasi komunikasi serta interaksi dengan publik dan konsumen,” ujarnya dalam keterangan tertulis yang diterima PR INDONESIA, Senin (1/9/2025).
Pada sisi internal, Gustiasa menjelaskan, penting bagi praktisi PR untuk memastikan adanya protokol krisis yang menjamin keselamatan karyawan, dan memberikan dukungan emosional bagi mereka yang terdampak langsung. Pendekatan ini diyakini dapat memperkuat rasa kebersamaan sekaligus menjaga kepercayaan internal di tengah situasi yang penuh ketidakpastian.
Jaga Interaksi Para “Stakeholder”
Sementara itu dalam konteks komunikasi eksternal, lanjutnya, praktisi public relations (PR) perlu memantau sentimen publik secara intensif dan menyiapkan respons cepat terhadap dinamika kebijakan atau eskalasi protes. Di sini, kata Gustiasa, perusahaan perlu menunjukkan narasi empati dan pemahaman terhadap isu-isu struktural yang mendorong protes, seperti tekanan ekonomi dan kesenjangan sosial.
Lebih lanjut, ia juga mendorong agar perusahaan dapat mengelola key opinion leader (KOL) dan media sosial secara selektif. Dalam hal ini perusahaan perlu memastikan mitra komunikasi memiliki kredibilitas yang tepat serta menghindari figur yang sedang disorot negatif. “Pemetaan stakeholder secara mendalam menjadi keharusan untuk memahami sensitivitas publik,” imbuhnya.
Tidak sampai disitu, hubungan dengan investor dan pemegang saham juga perlu perhatian khusus. Dalam konteks ini, praktisi PR disarankan untuk menyiapkan pesan yang menjelaskan potensi risiko, langkah mitigasi, serta daya tahan operasional. Transaksi besar atau agenda tatap muka, pesan Gustiasa, sebaiknya ditunda hingga situasi lebih kondusif.
Dengan demikian, simpulnya, praktisi PR dapat mengorkestrasi komunikasi yang strategis, empatik, dan berbasis sensitivitas sosial untuk membantu perusahaan menjaga reputasi, mengelola risiko, sekaligus memastikan keberlanjutan bisnis. (EDA)